in

Aktivitas di Panti Rehabilitasi Sosial Narkoba Sahabat Suci Hati Gunungpangilun

Pasien Masuk Pakai Borgol, Tiga Bulan Sembuh

Keberadaan panti rehabilitasi sosial narkoba, jelas berperan vital akhir-akhir ini. Lebih-lebih, seiring meningkatnya pecandu narkoba. Khusus di Padang, salah satunya bernama Panti Rehabilitasi Sosial Narkoba Sahabat Suci Hati di Gunungpangilun, Padang. Seperti apa penanganan pecandu di sana?

Cuaca tak begitu panas saat Padang Ekspres mendatangi sebuah rumah bertingkat dua di jalan Gunungledang, Kecamatan Nanggalo, Kamis (13/7). Rumah itu menjadi tempat di mana para pengguna narkoba melakukan rehabilitasi. Sahabat Suci Hati, begitu nama tempat tersebut.

Saat sampai, Padang Ekspres disambut beberapa orang lelaki berusia muda yang tengah duduk menikmati buah jambu yang mereka petik di pohon yang tumbuh di depan rumah. Tampak tato menghiasi lengan beberapa lelaki berusia sekitar awal 20 tahunan tersebut.

Pendiri yayasan, Syaiful mengatakan bahwa lelaki muda bertato itu salah seorang dari delapan pengguna narkoba yang tengah melakukan rehabilitasi rawat inap di panti. “Rata-rata yang rehab di sini berusia di bawah 25 tahun dengan status putus sekolah. Namun, juga ada yang berasal dari keluarga berada,” ujar lelaki yang biasa disapa Ustad ini.

Panti rehabilitasi yang bernaung di bawah Yayasan Al Ikhwan Suci Hati sudah berdiri sejak tahun 2008. Awalnya berupa LSM Suci Hati. Namun, tahun 2015 berubah menjadi sebuah yayasan. Syaiful mengatakan, panti rehabilitasi didirikan atas kekhawatirannya pada pecandu narkoba di Sumbar. Mirisnya tidak ada penanganan khusus.  “Kami sudah bekerja sama juga dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kementerian Sosial,” katanya.

Pengguna narkoba yang datang ke panti tidak hanya berasal dari Sumbar saja, namun juga ada asal Medan. Biasanya, pasien dibawa dengan cara diikat, bahkan diborgol keluarga.  “Tempat ini biasanya menjadi pilihan terakhir keluarga, saat anak atau saudara mereka tidak bisa juga disembuhkan dengan berbagai macam cara,” kata lelaki berkacamata itu.

Biasanya, narkoba jenis sabu dan ganja digunakan pasien dengan level sudah ketergantungan. Untuk penanganan, panti rehabilitasi menggunakan metode holistik berbasis spiritual, yakni melibatkan keseluruhan unsur baik itu fisik, mental, maupun spiritual. Selain itu, juga ada konseling yang dilakukan konselor atau pendamping yang juga mantan pemakai narkoba.

“Konselor mengerti apa yang dirasakan para pasien, karena mereka pernah mengalaminya. Hal itu bisa membangun ikatan antara konselor dan pasien. Panti memiliki empat orang konselor lelaki yang mantan pecandu. Sedangkan konselor perempuan bukan seorang pencadu, mereka berasal dari UIN,” kata Syaiful.

Di panti ini, hanya menyediakan tempat rawat inap pasien laki-laki, sedang pasien perempuan rawat jalan. Hal ini disebabkan keterbatasan tempat, mengingat tempat yang dijadikan panti rehabilitasi masih mengontak dan tak permanen. “Kami berharap memiliki panti sendiri dengan lokasi terletak di kaki bukit. Pasien sebenarnya lebih baik berada di tempat yang dekat dengan alam. Itu bisa mempengaruhi proses pemulihan,” tutur Syaiful.

Untuk kegiatan sehari-hari, para pasien memiliki jadwal yang telah diatur dari pagi hingga malam. Shalat lima waktu diharuskan berjamaah bersama para konselor. Selanjutnya di jam yang sudah ditentukan, para pasien melakukan konseling dengan konselor dengan tema-tema yang telah ditentukan konselor, seperti bagaimana cara terlepas dari narkoba.

Rentang waktu kesembuhan pasien sekitar tiga hingga enam bulan. Biasanya, bulan keempat atau kelima, pasien sudah bisa dinyatakan pulih. Tak jarang banyak pasien yang pura-pura sembuh agar bisa pulang. Minggu pertama hingga ketiga, dikatakan Syaiful, menjadi waktu rawan. Bagi pasien tersebut, dilakukan pengawasan 24 jam agar tak kabur.

“Pecandu narkoba tidak ada yang sembuh, mereka hanya bisa pulih. Karena sekali menggunakan narkoba, sampai kapan pun tidak akan pernah sembuh,” ujar Syaiful.

Di panti, juga terdapat pasien yang pernah sakau. Dalam hal ini, Syaiful menggunakan metode totok syaraf untuk mengeluarkan racun di dalam tubuh yang ia ciptakan sendiri. Setelah melakukan metode tersebut, pasien muntah dan mengeluarkan darah hitam mengental, barulah tubuh pasien menjadi lebih baik.

Selain mengatasi pecandu narkoba, panti juga merehabilitasi para pasien LGBT dan HIV. Untuk saat ini, baru ada seorang pasien LGBT berjenis kelamin perempuan dan dua orang pengidap HIV. 

Salah seorang konselor panti yang juga mantan pecandu bahkan pengedar, Didi (bukan nama sebenarnya, red) mengatakan bahwa ia sudah berhenti menjadi seorang pemakai narkoba sejak bertemu dengan Syaiful. “Pada tahun 2012, saat itu saya sudah menikah dan memiliki anak,” ujarnya saat dijumpai Padang Ekspres selepas Shalat Zuhur berjamaah bersama para pasien.

Lelaki 37 tahun ini bercerita, dia sudah menjadi seorang pecandu sejak masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Saat itu, dia berusia 15 tahun. Pengaruh lingkunganlah yang membuatnya terjerumus ke dunia hitam. Seorang teman yang ternyata seorang Bandar, memperkenalkan barang haram tersebut kepada Didi. Waktu itu, narkoba jenis ganja ia cicipi pertama kali.

“Ganja itu membuat kita menjadi lebih malas. Selain itu, nafsu makan meningkat. Perasaan ini rasanya senang saja, dan juga menjadi berhalusinasi,” jelas Didi.

Tak hanya pemakai, Didi juga menjadi pengedar sejak dia duduk di bangku SMA. Selain ganja, Didi juga menggunakan narkotika jenis sabu dan sempat menjadi pengedar sabu. Sabu dikatakan Didi memiliki efek berbeda dari ganja. Pengguna sabu akan menjadi lebih bersemangat dan bahagia, bahkan dia mengaku tak tidur selama lima hari akibat penggunaan narkotika jenis sabu.
Sewaktu menjadi pengedar, Didi pernah menjadi buronan polisi. Namun, hal itu tak membuatnya jera.  

“Saya menikah tahun 2006. Sebelum menikah istri saya meminta untuk berhenti berurusan dengan barang haram tersebut. Saat itulah saya mulai pelan-pelan menguranginya,” kata Didi.

Namun, pengaruh lingkungan tanpaknya benar-benar susah untuk membuatnya lepas menjadi kecanduan. Di belakang sang istri, ia masih tetap mengkonsumsi narkoba bersama dengan alkohol. Barulah tahun 2012, ia berhenti dari obat-obatan terlarang.
“Ustad yang menjangkau saya, awalnya saya tidak ingin dibina. Namun mengingat istri dan anak-anak yang mendorong, saya harus berhenti menggunakannya,” ucap Didi yakin.

Selain menjadi konselor, Didi juga bertugas menjangkau para pemakai narkoba. Pengalamannya sebagai bandar narkoba membuat ia tahu di mana tempat-tempat yang dijadikan bascamp para pengguna. Di sana lah dia melakukan pendekatan agar para pemakai berhenti dan melakukan rehabilitasi.

“Kalau diingat-ingat kisah dulu, pastilah saya menyesal. Namun sekarang saya ingin menebusnya, saya membawa orang-orang yang saya berikan barang haram tersebut untuk dibina. Alhamdulillah, sudah banyak pecandu yang saya bina. Saya ingatkan, narkoba benar-benar barang haram yang perusak,” tukasnya. (*) 

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Kemenag Siapkan 1.000 Kursi CPNS Dosen

Malaysia Deportasi 550 TKI Ilegal