in

Alam Takambang jadikan Guru

Peringatan Hari Guru pada 25 November tahun ini agaknya sedikit istimewa bagi saya. Dalam kurun waktu yang berdekatan dengan tanggal tersebut ada dua hal penting tentang seorang guru yang saya dapatkan. Entah ini karena kebetulan atau memang ada yang istimewa dalam peringatan hari guru tahun ini bagi saya.

Sekitar pertengahan November, seorang guru yang sudah mendekati masa pensiun memberikan atau mungkin menceritakan pengalaman hidupnya. Suka dukanya menjadi guru hingga bagaimana suka citanya mendidik anak sendiri dan menyelaraskan membina keluarga di samping menunaikan kewajiban mengajar, layaknya seorang guru.

Kami hanya bercerita ringan sambil duduk-duduk santai di sebuah bengkel mobil kawasan Ulakkarang, Padang. Saya sengaja tak menyebutkan nama si guru untuk kebaikan dia dan mungkin untuk pembaca. Seorang guru yang menurut saya untuk beberapa hal cukup istimewa dibanding dengan kondisi guru yang ada di era sekarang. Istimewa bukan karena dia luar biasa, tetapi istimewa untuk beberapa sikap dirinya. Karakter seorang individu guru yang tercermin dalam sikap dan perilakunya.

Kita tak bermaksud merendahkan nilai-nilai pada guru-guru yang kebanyakan ada pada hari ini. Sekali lagi bukan itu, karena di tengah peringatan hari guru kita sepantasnya memberikan apresiasi pada pahlawan tanpa tanda jasa. Guru lah yang menjadikan sesorang yang tak tahu tulis baca, tak berilmu pengetahuan, buta dengan ilmu dunia sekaligus akhirat lalu menjadikan semuanya menjadi bisa.

Maksud dari menuliskan dan membagi cerita si guru yang satu ini hanyalah untuk pembanding, sebagai pengalaman tambahan bagi kita bersama. Sebab, alam takambang jadikan guru. Pengalaman seseorang juga menjadi guru yang tak kalah pentingnya dalam menata kehidupan. Pengalaman seseorang menjadi penting untuk memperkaya diri dalam bersikap ke depan. Apalagi pengalaman dari orang yang berprofesi sama.

Si guru laki-laki hanya menjawab dengan senyum ramah ketika ditanya tentang mobilnya. Saya mungkin salah tanya, tetapi sebagai perkenalan dengan orang yang baru bertemu pada satu tempat dengan tujuan sama-sama servis mobil, rasanya pertanyaan itu pas untuk salam perkenalan.

“Mobilnya bagus. Mungkin keluaran tahun 2011-an ya, Pak”? Saya membuka diskusi sambil meraba bodi sebuah mobil keluaran Eropa yang di parkir dekat si Bapak yang akhirnya saya ketahui seorang guru. Dia menjawab bukan itu kendaraannya, sambil menunjuk sebuah mobil keluaran tahun 90-an. Juga keluaran Eropa.

Silaturahmi dan perkenalan berlanjut hingga bertanya sejarah kampung, tempat tinggal dan hal-hal biasa sebagai pembuka layaknya dua orang yang berkenalan. Saya berusaha bicara sesopan mungkin dengan memilih kata-kata yang tidak menyinggung perasaan si guru. Saya sedikit gugup ketika perkiraan mobil mewah tadi bukan miliknya, melainkan hanya mobil tua yang sudah berusia 30 tahunan.

Dia melanjutkan cerita, seolah-olah tak tersinggung dengan pertanyaan perkenalan tadi. Mobil tua itu pun dia beli setelah anak-anaknya tamat kuliah, bermenantu dan rata-rata sudah bekerja. Tak tersirat sikap sombong dan membanggakan ketika dia berbagi cerita tentang kemampuannya membeli mobil.
Saya tak membayangkan kalau ada sepasang suami istri yang sama-sama guru, sudah hampir memasuki masa pensiun hidup bersahaja. Puas dan bangga dengan mobil tua yang terkadang harus rajin di cek ke bengkel. Sangat jarang saya menemukan pasangan suami istri sama-sama pegawai negeri dan guru penerima sertifikasi tetap sederhana di usia senja.

Soal anak-anaknya saya pun berdecak kagum. Entah bagaimana caranya si guru bisa mengawal pendidikan anak dan mendidik anak-anak lain di sekolah secara selaras. Tiga anak-anaknya sudah bekerja di instansi vertikal dan BUMN-BUMN besar. Kepuasannya adalah di usia senja bisa melihat anak menantu serta cucu hidup rukun. Kalau seandainya minta fasilitas dibelikan mobil baru, rasanya mungkin dengan mudah ia dapatkan.

Kini dan selanjutnya menjelang masa pensiun, si guru bertekad mengabdikan diri di sebuah sekolah swasta Dhuafa. Dia sepertinya tak memandang jabatan struktural di sekolah setingkat SLTA, meski sebagai guru senior yang sarat dengan pengalaman. Si guru tak bergeming pindah ke sekolah akreditasi terbaik atau lingkungan yang lebih luas. Dia memilih mengabdikan diri sebagai guru PNS di sekolah swasta kecil yang diisi anak anak dari kaum miskin.

Jasa Guru Tiada Tara
Guru tetaplah seorang guru. Dulu, sekarang dan masa mendatang. Peran dan jasa guru tak ada yang meragukannya. Jasa guru itu tiada tara. Rasanya belum ada mantan murid yang bisa membalas jasa guru, setara dengan apa yang diberikan pada usia-usia sekolah dulu.

Hari ini dan ke depan seorang guru tetaplah menjadi profesi yang terhormat. Guru tentu menyadari hal itu dengan tetap menjaga martabat, etika dan sikap dalam keseharian. Tak hanya di depan kelas dan di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan masyarakat luas.

Kita tentu berharap martabat seorang guru tetap terjaga, dan tentu guru itu sendiri yang menjadi garda terdepan dalam memberikan contoh keteladanan itu. Godaan hidup glamor, pamer gaya hidup di lingkungan sekolah atau luar sekolah menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Sorotan dan kritik tentu tetap diberikan, agar guru tetaplah seorang guru. Sederhana, bersahaja, dan memberi keteladanan dalam hal apa pun.

Hal kedua yang terkesan dalam peringatan hari guru tahun ini adalah ketika beberapa hari lalu seorang guru yang sudah tak bertemu dan berkomunikasi 20 tahun, tiba-tiba menelepon. Seorang guru perempuan yang pernah mengajar, tapi antara saya dengan bu guru tadi tak ada komunikasi.

Dia hanya mengucapkan selamat kepada anak-anaknya yang dulu pernah ia didik. Dia mengaku senang sebagian anak-anaknya sudah tumbuh menjadi benar benar orang, dan menyebar di berbagai profesi. Hanya ada harapannya agar kami meluangkan waktu mengunjungi almamater. Dia tak memikirkan dirinya, tetapi berharap bisa komunikasi dengan adik-adik kelas.

Dua puluh tahun lalu si guru tadi adalah seorang guru kelas dan rutin mengajar layaknya seorang guru. Hari ini dia mengaku bangga masih murni menjadi seorang guru. Tak terbesit dalam dirinya mengejar ke jabatan-jabatan penting termasuk jadi kepala sekolah. Katanya senang menjadi guru di kelas, karena bisa full memberikan pengabdian sebagai seorang guru.

Dua hal tentang guru-guru tadi memberikan makna yang besar artinya bagi saya, dan mungkin bagi kita bersama. Masih ada guru yang bertahan bersahaja dan hidup sederhana, meski secara finansial sudah layak mendapatkan fasilitas-fasilitas dunia. Lalu masih ada guru yang tidak resah dan pontang panting mengejar jabatan. Bersyukur dan tetap fokus mengabdi sebagai seorang guru.

Di suasana hari guru tahun ini kita patut menyampaikan ucapan terima kasih pada semua guru yang telah memberikan ilmunya pada kita semua. Semoga guru-guru kita tetap hidup bersahaja, sederhana dan tidak terpengaruh oleh perebutan tahta jabatan. Guru tetaplah seorang guru dengan tugas dan pengabdiannya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

5 Female Warriors Who Made Their Mark On History

Setnov Dikabarkan Siap Mundur