in

Analisis Ekonomi Efek Permenristekdikti No 20/2017

Dewasa ini diskusi hangat terjadi di kalangan insan akademik —dosen— pascakeluarnya Permenristekdikti No 20 Tahun 2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen. Hulu persoalan adalah Pasal 4, 8 dan 14 yang menyebutkan, dosen yang memiliki jabatan akademik Lektor Kepala harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah dalam jurnal nasional terakreditasi atau paling sedikit satu karya ilmiah dalam jurnal internasional dalam kurun waktu tiga tahun. 

Lalu, bagi profesor paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional atau paling sedikit  satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi dalam kurun waktu tiga tahun.  

Evaluasi pemberian tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan profesor itu dilakukan di November 2017 dengan memperhitungkan karya ilmiah sejak tahun 2015. Tidak semua jurnal diakui sebagai jurnal bereputasi (internasional). 

Indikator jurnal international adalah diterbitkan oleh asosiasi profesi ternama di dunia atau perguruan tinggi atau penerbit kredibel, terindeks oleh pemeringkat internasional contoh Index Copernicus International (ICI) dan mempunyai impact factor. 

Beragam tanggapan muncul mengiringi keluarnya Permen di atas. Ada pendapat menyatakan bahwa Permen ini menciptakan kondisi diskriminatif dalam jabatan fungsional asisten ahli, lektor dan lektor kepala, serta guru besar. Lainnya memandang tunjangan profesi dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP No 37 Tahun 2009 tentang Dosen tidak mengatur persyaratan ketat,  sehingga melampaui materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 

Mengingat beratnya syarat bagi dosen yang memiliki jabatan fungsional lektor kepala dan guru besar untuk mendapatkan tunjangan  profesi  telah menciptakan dis-insentif. Dosen yang berposisi lektor kepala dan guru besar “berniat”  turun ke lektor yang  tidak memiliki tuntutan publikasi ilmiah  yang begitu berat dan yang berposisi lektor engan untuk promosi ke lektor kepala dan guru besar karena memiliki kewajiban berat. Tulisan berikut ini mencoba menganalisis sisi lain dari Permenristekdikti tersebut dari padangan efek ekonominya. 

Disparitas Pendapatan Dosen

Dosen merupakan tenaga pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (UU No 14 Tahun 2005). 

Di antara profesi lainnya, seperti dokter dan insiyur, dosen memiliki tugas utama yang berlapis yang tercakup dalam Tridharma Perguruan Tinggi. Berbeda dengan tenaga kesehatan dan insiyur. Tenaga kesehatan mengabdikan diri dalam bidang kesehatan dan melakukan upaya kesehatan (UU 36 2014).  

Insinyur menggunakan kepakaran dan keahlian meningkatkan nilai tambah dan daya guna secara berkelanjutan dengan memperhatikan keselamatan, kesehatan, kemaslahatan, serta kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan (UU No 11 Tahun 2014).  

Dengan demikian jelas distingsi dosen terletak pada tugas yang tidak hanya mengajar, tapi juga wajib meneliti dan melakukan kegiatan pengabdian di masyarakat. 

Tugas-tugas dosen yang berlapis tersebut harus dilakoni dengan pembagian jadwal kegiatan yang ketat; mengajar, meneliti dan pengabdian masyarakat. Dari tugas ini dosen menerima insentif yang “masih rendah” bila dibanding dengan profesi lainnya atau dengan kondisi di luar negeri. Ambil contoh dosen berpangkat III/d dan memiliki fungsional lektor kepala dengan masa kerja 10 tahun memiliki pendapatan Rp 4.148.300 (PP No 30 Tahun 2015) ditambah dengan ragam tunjangan (termasuk sertifikasi) paling tinggi sang dosen membawa uang ke rumah Rp 6.000.000/per bulan (setelah dipotong PPH 21). 

Mengingat tugas Tridhrama yang dienban, sulit bagi dosen untuk mencari tambahan income di luar jam dinas. Jika pun bisa, honor mengajar tambahan tidak signifikan menambah pendapatan. Bagi lektor kepala mendapatkan Rp 45.000/SKS (maksimal 4 SKS). Dibanding dengan dokter sangat memungkinkan mereka melakukan praktik di luar jam dinas (bahkan ada dalam jam dinas) dan itu mendatangkan tambahan pendapatan yang signifikan. 

Lebih lanjut perbedaan ini  bak siang dengan malam jika dibandingkan dengan gaji politikus. Berdasarkan SE Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR, total pendapatan kotor sementara anggota DPR adalah Rp 18.415.608. Setelah dipotong pajak PPH dan iuran wajib, jumlah gaji pokok dan tunjangan bersih anggota DPR adalah Rp 16.207.200/bulan.  

Pendapatan anggota DPR juga ada sumber pendapatan lain yang diterima. Penerimaan lain-lain tersebut misalnya, tunjangan kehormatan dan komunikasi intensif. Total pendapatan yang diterima anggota DPR RI per bulannya adalah Rp 51.567.200 per bulan.

Disparitas (perbedaan) gaji dosen yang bergitu jauh dengan profesi lainnya dan belum lagi dibandingkan di luar negeri. Di Belanda, seorang dosen mempunyai gaji kotor Euro 8.971/bulan. Dalam sebulan yang bisa dibawa oleh profesor di Belanda sekitar Euro 5.500 atau dengan kurs rupiah sekitar 77 juta rupiah/bulan. Di negara jiran (Malaysia), profesor mendapat gaji Rp 35 juta/bulan

Dalam kondisi gambaran pendapatan (income) di atas sang dosen mengayuh biduk tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik, mentor, peneliti, penulis ilmiah, hadir di seminar ilmiah dan pengabdian di masyarakat melalui diseminasi dan sebagai narasumber. 

Perlu dipahami secara mendalam potret riil kesejahteraan dosen menjadi variabel penting diperhatikan di tengah tuntutan menghasilkan karya bereputasi dan bergensi. Jika kebutuhan terpenuhi dan hidup bisa layak tentu dosen dapat berkonsentrasi penuh menunaikan tugas tridharma PT. Bagaimana dosen bisa fokus membuat publikasi ilmiah jika “dapur” tidak lancar mengempulkan asap.

Produktif dengan Insentif

Kehadiran Permenristekdikti No 20 Tahun 2017 adalah untuk dorong produktivitas dan kinerja dosen dalam penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi dan meningkatkan jumlah serta mutu penelitian dosen di Indonesia. Data statistik (www.scimagojr.com ) melaporkan  publikasi  239 negara. Indonesia berada pada urutan ke-61  dengan jumlah publikasi sebanyak 25.481.

Indonesia kalah dari jirannya, Malaysia yang menempati urutan ke-37 dengan jumlah publikasi karya ilmiah 125.084, Singapura yang berada di peringkat ke-32 dengan jumlah publikasi 171.037 dan Thailand pada peringkat ke-43 dengan jumlah publikasi 95.690. 

Negara paling produktif diduduki oleh Amerika Serikat dengan jumlah publikasi karya ilmiah 7.846.972, peringkat ke-2 adalah Tiongkok (China) dengan jumlah publikasi 3.129.719, dan peringkat ke-3yakni Inggris dengan jumlah publikasi 2.141.375 (Nanang Bagus Subekti, 2015).  

Dalam konteks ini, Permenristek yang dikeluarkan diharapkan memiliki daya lecut yang kuat untuk mendorong dan membangkitkan adrenalin akademik dosen-dosen di Indonesia agar banyak memproduksi karya ilmiah dan dipublikasi pada jurnal bereputasi.

Namun, persoalannya bukan sederhana. Untuk dapat produktif dengan karya ilmiah yang bermutu dan dapat menembus jurnal-jurnal bereputasi international sungguh membutuhkan energy extra, kerja serius dan fokus serta banyak input. Menulis karya ilmiah dibutuhkan input dalam bentuk banyak membaca literatur dan jurna-jurnal penelitian terbaru.   

Membaca buku/literatur membutuhkan ruang dan waktu yang cukup dan representative, serta kondisi yang bebas dari problem himpitan masalah ekonomi. Mendapatkan jurnal yang berkualitas bereputasi dan terakreditasi tidak lah free of charge namun berbayar. Dengan input yang banyak pun seorang dosen belum tentu dapat dijamin memproduksi karya ilmiah berkualitas. Karena, karya ilmiah lahir melalui proses produksi yang membutuhkan time lag  untuk dapat menimbulkan efek pada produktif. Belum lagi susahnya  berkompetitif agar karya ilmiah dapat dipublikasi pada jurnal bereputasi dan terakreditasi. 

Tidak meratanya jumlah jurnal bereputasi dan terakreditasi sesuai bidang keahlian menciptakan kondisi hukum pasar. Banyaknya permintaan (demand) untuk dapat dipublikasi karya ilmiah sementara jumlah jurnal bereputasi dan terakreditasi (supply) sesuai bidang ilmu terbatas, maka setiap penulis harus membayar apalagi jurnal  di luar negeri yang cukup mahal.  

Untuk itu dibutuhkan pra-kondisi sebelum Permenristekdikti No 20 Tahun 2017 diberlakukan. Kebijakan yang pro kepada tumbuhnya atmosphere akademik di kalangan dosen harus dilahirkan. Sebagai tenaga profesional, dosen diberikan ruang yang cukup untuk dapat mengembangkan profesiolitas sesuai bidang keahlian. 

Jika dosen dibebani dengan aturan-aturan administrasi dan birokrasi nan ketat tentu akan mengakibatkan elan akademik sang dosen akan tumpul. Infrastruktur untuk tumbuh dan berkembangnya budaya publikasi ilmiah di kalangan dosen harus disiapkan. Ruang akses dosen ke buku-buku atau literature update dan jurnal-jurnal bereputasi international yang itu berbayar mestinya dibuka selebar-lebarnya. 

Jurnal-jurnal berkelas dunia mestinya menjadi menu yang selalu dilalap oleh dosen sebagai input untuk menghasilkan karya ilmiah bermutu dan berdaya saing sehingga lolos publikasi di  jurnal bereputasi. Setiap perguruan tinggi diberi subsidi untuk dapat mengembangkan e-journal, sehingga  jurnal yang ada dapat dipromosikan ke jurnal terakreditasi.  

The last but no the least, setelah memahami secara mandalam problem income sang dosen sebagai mana diutarakan di atas dan memahami tuntutan dosen harus mampu memproduksi karya ilmiah berepuatasi tersebut, maka logika produksi menjadi penting diperhatikan. Dosen akan dapat memproduksi karya–karya ilmiah bereputasi dan bergengsi (output) jika infrastruktur dan kebijakan (input)  mendukung untuk produksi tersebut. Semoga. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Reni, Buruh Tani Kembangkan Songket Lintau

Semen Padang v Perseru Serui 6 – 0: Tatap Babak 8 Besar dengan Rekor Sempurna