Sebelum menjadi pengusaha konveksi yang terbilang cukup sukses, Anasrizal sempat bekerja dengan kakak kandungnya yang juga pengusaha konveksi di Ulak Karang, Padang, selama 10 tahun, sejak 1978-1988.
Satu dekade bekerja menjadi anak buah dari saudaranya itu, kemampuan Anas membuat tas kian terasah, hingga akhirnya di penghujung 1987, timbullah keinginan untuk merintis usaha konveksi sendiri.
“Keinginan itu juga didorong oleh sang kakak yang menjadi inspirasi bagi dirinya untuk maju dan mandiri, termasuk istri saya Yusni Mardalena,” ujar Anasrizal.
Selain dorongan dari sang kakak dan istri, keinginan untuk mandiri juga tak lepas dari semakin tingginya kebutuhan ekonomi. Apalagi ketika itu, dirinya sudah berkeluarga dan punya tiga orang anak. Tentunya, ia pun membutuhkan pendapatan yang lebih.
Untuk itu, ia pun mulai menyisihkan pendapatannya sedikit demi sedikit hingga akhirnya di pertengahan 1998, tabungannya pun mencapai Rp175 ribu. Uang sebesar itu, kata Anas, nilainya cukup besar ketika dan cukup untuk memulai usaha konveksi dengan skala kecil.
Anas kemudian menyewa sepetak rumah di Jalan Bahari, Kampuang Tangah, Ulak Karang, yang dijadikan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat usaha konveksi, yang dinamainya, Baceno.
Selain digunakan untuk menyewa rumah kontrakan, sebagian uang itu juga dipergunakan untuk membeli bahan baku pembuatan tas seperti terpal.
“Untuk mesin jahit ketika itu saya sudah punya. Saya beli ketika masih bekerja di tempat konveksi kakak saya. Untuk tipe mesinnya masih “dangdut”, yaitu digerakkan dengan menggoyangkan kaki,” ungkapnya.
Meski sudah memproduksi tas sendiri, ternyata tak mudah untuk memasarkannya. Bahkan ketika dijual ke Pasar Raya Padang, tak satu pun ada toko tas yang berminat. Berbagai alasan secara halus, diungkapkan pemilik toko untuk menolak tas yang diproduksinya. “Pemilik toko ndak mau beli tas saya. Katanya sudah punya langganan konveksi,” ungkapnya.
Kendati semua toko tas menolak, Anas tak langsung menyerah begitu saja. Saban hari, dia pun terus mendatangi satu per satu toko tas di kawasan Pasar Raya Padang. Namun sayangnya, hasilnya di luar dugaan. Sejumlah toko dari langganan kakaknya juga ikut menolak untuk membeli tas yang diproduksinya.
Anas pun kembali mendatangi beberapa toko tas di Pasar Raya Padang. Namun kedatangannya kali itu, katanya, harga tas yang ditawarkan kepada pihak toko jauh di bawah harga normal. “Saya tawarkan satu lusin itu Rp50 ribu, dan ada lima lusin yang saya punya. Ternyata ada yang berminat,” ungkapnya.
“Dari Rp50 ribu per lusin, saya dapat Rp2.000 untuk satu tas. Itu hanya upah dan bukan untung. Hal itu terpaksa saya lakukan agar tas terjual, karena saya juga butuh uang untuk biaya makan keluarga,” ungkap bapak tujuh orang anak itu mengenang. Setelah semua tas habis dijual, dia pun pulang ke rumah dengan langkah lunglai.
Anas menyebut, sepanjang perjalanan dari pasar ke rumah, dirinya terus merenungkan nasib yang tak kunjung berubah, meskipun sudah memulai usaha konveksi sendiri.
Setiba di rumah, ia pun mengatakan kepada istrinya untuk kembali bekerja di tempat usaha konveksi kakaknya. Karena, merintis usaha sendiri itu sagat susah dan butuh perjuangan yang begitu sulit dilalui.
Namun, istrinya menolak dan meminta dirinya untuk terus berusaha lebih keras lagi. Tak hanya itu, istrinya juga marah mendengar adanya keinginan untuk kembali menjadi anak buah di tempat konveksi, meskipun konveksi tersebut miik kakaknya.
“Mendengar saya ingin kembali jadi anak buah kakak saya, istri saya marah dan bilang, ‘Bapak harus semangat, karena anak-anak sudah mulai besar. Kita harus bangkit pak. Biaya kebutuhan besar dan kita harus maju pak’. Mendengar yang disampaikan istri saya, saya pun bangkit. Apalagi ketika itu, istri saya juga ikut membantu mencarikan langganan tas di Pasar Raya Padang,” katanya.
Usaha istri mencari langganan pun membuahkan hasil. Usaha konveksinya pun perlahan-lahan mulai bangkit. Meski tak berkembang, tapi sebagian dari hasil usaha tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.
Namun di pertengahan 1989, usaha yang baru mulai bangkit itu kembali diterpa persoalan pendapatan yang tak sesuai dengan kebutuhan, hingga akhirnya Anas terpaksa menjadi pelaku usaha konveksi musiman.
“Saya buat tas hanya ketika tahun ajaran baru sekolah. Di luar itu, saya kembali bekerja dengan kakak saya. Maklum, ketika itu saya masih gamang untuk mandiri, meskipun istri sudah memotivasi dan juga ikut membantu saya untuk mencari toko tas langganan yang menampung tas yang saya produksi. Tapi, saya harus kembali bekerja dengan kakak saya untuk bisa bertahan,” ucap Anasrizal.
Empat Kali Jatuh Bangun
Sebelum usaha konveksinya besar seperti sekarang ini, Anas pun mengatakan bahwa dia sudah empat kali jatuh bangun. Penyebabnya, selain tidak punya modal yang cukup besar, persaingan pasar ketika itu juga sulit. Bahkan tak mudah untuk meraih simpati pemilik toko yang mau menampung tas yang diproduksi.
“Saya rasa tak hanya saya yang mengalami hal seperti itu, pelaku usaha lainnya juga demikian. Namun saya terus sabar dan tak mau menyerah,” katanya.
Merasa tak ada kemajuan, akhir 1997 Anas pindah ke Jalan Veteran. Aura usaha pun mulai bersinar di tempat yang baru. Bahkan, satu per satu pelanggan pun didapat. Kendati begitu, keuntungan yang didapat hanya cukup untuk biaya kebutuhan sehari-hari, dan belum bisa digunakan untuk menambah modal usaha.
Tak sampai satu tahun lamanya di tempat yang baru, tawaran dari sebuah distributor tas di Pasar Raya Padang pun datang dan mereka siap mendukung semua kebutuhan bahan baku untuk membuat tas, asalkan semua tas yang diproduksi harus dijual kepada distributor tersebut. “Tawaran itu dengan senang hati langsung saya terima,” katanya.
Jadi UMKM Binaan Semen Padang
Anasrizal dituntut terus mengembangkan usaha konveksi tas yang dirintisnya sejak 1988 itu. Permintaan tas bulan ke bulan terus meningkat. Untuk memenuhinya, tentu Anasrizal butuh modal yang cukup besar.
Tahun 2003, Anas mendapat informasi adanya pinjaman modal usaha dari CSR PT Semen Padang. Tapi ketika itu, Anas tidak tahu bagaimana caranya, dan tidak tahu kemana dan kepada siapa dia bertanya.
Rezeki sudah ada Yangmaha Mengatur. Di awal tahun 2004, Anas bertemu seorang karyawan PT Semen Padang, Syafrizal, dan merupakan teman sekolah adiknya.
“Saya bertemu Syafrizal saat dia hendak makan siang di dekat usaha konveksi saya ini. Setelah makan, Syafrizal mendatangi saya dan kami mengobrol,” ujarnya.
Syafrizal ini kerjanya di Semen Padang, dan merupakan orang yang tepat di saat dirinya sedang membutuhkan pinjaman dana untuk memodali usahanya.
“Pinjaman di CSR Semen Padang itu ternyata bagian dari pekerjaan Syafrizal. Dengan senang hati, Syafrizal langsung membantu saya, termasuk membantu membuatkan surat permohonan pinjaman modal usaha ke CSR Semen Padang,” katanya.
Sejak 2004 hingga sekarang, sudah lima kali Anas mendapatkan pinjaman modal usaha dari CSR Semen Padang. Pinjaman pertama Rp7 juta, lama cicilan 2 tahun. Periode kedua Rp15 juta. Pinjaman ke tiga jumlahnya Rp30 juta, pinjaman ke empat ebesar Rp40 juta, dan Rp50 juta untuk tahap kelima.
“Alhamdulillah, ini berkat bantuan CSR Semen Padang. Karena tidak hanya pinjaman modal yang diberikan, saya pun juga diberikan pelatihan manajemen keuangan oleh CSR Semen Padang,” pungkasnya.(*)