Solo, 8 November 1960 (Antara) – Presiden Sukarno dalam resepsi-resepsi maupun rapat-rapat rakasasa di Surakarta berulang-ulang menegaskan, bahwa nama untuk Surakarta jang benar adalah “Sala” dan bukannja “Solo” dengan utjapan o-terbuka.
Nama “Solo” adalah pemberian dari Belanda jang tidak sesuai dengan nama aslinja, jaitu “Sala”. Tetapi dengan tidak menjadarinja, kebanjakan dari kita selalu menjebutnja “Solo”.
Maka hendaknja mulai sekarang, kita pergunakan nama “Sala”, demikian andjuran Presiden Sukarno jang berulang-ulang dinjatakan itu.
Akibat dari pada andjuran Presiden Sukarno itu, banjak orang sudah mulai melaksanakannja dan mulai mempergunakan nama “Sala”. Akan tetapi dalam pelaksanaanja, ternjata tidak sedikit mengalami kedjanggalan-kendjanggalan. Terutama dalam njanjian-njanjian jang sudah amat dikenal oleh masjarakat.
Penggantian “Solo” mendjadi “Sala” itu masih belum dilaksanakan karena akan mendjadi amat djanggal. Sebagai misal dikemuakakan beberapa njanjian jang sudah amat terkenal jang semuanja mempergunakan utjapan “Solo”, yaitu “Bengawan Solo”, “Solo di waktu malam”,”Puteri Solo”, dan sebagainja.
Njanjian-njanjian itu akan mendjadi “tjomplang” apabila dinjanjikan dengan “Sala”. Djuga dalam tulisan-tulisan orang umumnja masih belum mempergunakan “Sala”, tetapi masih tetap memakai “Solo”.
Berhubung dengan itu diharapkan adanja pemetjahan jang sebaik-baiknja sehingga tidak akan ada keraguan lagi mana jang mesti dipergunakan. Hal ini terutama perlu bagi anak-anak sekolah.
Sumber: Pusat Data dan Riset ANTARA //pdra.antaranews.com/Twitter: @perpusANTARA
Editor: Heppy Ratna
COPYRIGHT © ANTARA 2016