» Secara tahunan, ekonomi AS pada kuartal II menyusut 32,9 persen.
» Lockdown yang masif dan ketat di zona euro memicu kontraksi ekonomi.
JAKARTA – Amerika Serikat (AS) mengalami resesi ekonomi setelah perekonomiannya berkontraksi dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal I-2020 berkontraksi atau negatif 5 persen dan pada kuartal II seperti prediksi awal Kementerian Perdagangan akan menyusut 9,5 persen.
Resesi yang melanda negara ekonomi terbesar dunia itu akibat dampak pandemi Covid-19 yang membuat semua aktivitas bisnis di negara tersebut terhenti sehingga jutaan orang kehilangan pekerjaan.
Secara tahunan, kontraksi pada kuartal II itu mencapai 32,9 persen atau penurunan terdalam negara adidaya itu secara tahunan sejak 1947. Konsumsi masyarakat yang berkontribusi dua pertiga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) AS merosot 34,6 persen secara tahunan.
Kontraksi juga bersumber dari investasi infrastruktur, peralatan, dan kekayaan intelektual yang merosot 27 persen atau turun paling tajam sejak 1952, sementara investasi residensial turun pada tingkat 38,7 persen, terbesar sejak 1980.
Kementerian Tenaga Kerja AS dalam laporan Kamis (30/7) malam menyebutkan jumlah pekerja yang mengajukan tunjangan pengangguran meningkat untuk minggu kedua berturut-turut. Klaim awal melalui program negara reguler naik menjadi 1,43 juta dalam pekan yang berakhir 25 Juli, naik 12.000 dari minggu sebelumnya.
Sedangkan, jumlah yang mengajukan tunjangan berkelanjutan melalui program tersebut pada periode yang berakhir 18 Juli mencapai 17 juta atau naik 867.000 dari minggu sebelumnya.
Kondisi ekonomi AS itu makin tertekan setelah Presiden AS, Donald Trump menyatakan kemungkinan untuk menunda pelaksanaan pemilihan presiden pada November mendatang meningkat sampai pemilih bisa memilih dengan tepat dan aman.
“Segala bentuk ketidakpastian AS, apakah ekonomi atau politik, adalah alasan untuk menekan tombol jual dollar AS,” kata analis senior dari Western Union Business Solutions di Washington Joe Manimbo.
Indeks dollar AS terhadap sejumlah mata uang utama lainnya terakhir turun 0,38 persen pada 92,995. Euro menguat menjadi 1,1844 per dollar, tertinggi sejak Juni 2018.
“Kami telah melihat beberapa tanda dalam beberapa pekan terakhir bahwa peningkatan kasus virus, dan langkah-langkah baru untuk mengendalikannya, mulai membebani aktivitas ekonomi,” kata Gubernur bank Sentral AS, Federal Reserve, Jerome Powell dalam keterangannya usai menggelar pertemuan bulanan untuk merumuskan kebijakan moneternya.
Menanggapi hal itu, Pakar ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Candra Fajri Ananda, mengatakan, resesi di negara adidaya itu akan membawa dampak ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena merupakan tujuan ekspor dari emerging countries.
“Selama ini kita menyadari bahwa market AS adalah tujuan ekspor produk hampir sebagian besar negara berkembang dan emerging countries, terutama untuk produk pertanian, tekstil serta furniture,” kata Candra.
Kondisi tersebut jika diikuti dengan kebijakan yang membuat ketidakpastian semakin besar, seperti ketidakstabilan politik dalam negeri, kisruh ras yang berlanjut, maka akan menyebabkan perlambatan ekonomi semakin mendalam.
“Tentu itu sangat tidak baik, bagi perekonomian dunia. Indonesia, Vietnam, Thailand, India dan lain-lain adalah negara berkembang yang sedang mau maju,” katanya.
“Lockdown” Masif
Selain AS, zone euro juga menyusul beberapa negara yang sebelumnya mengalami resesi seperti Singapura dan Korea Selatan. Data awal PDB kuartal kedua tahun 2020, Zone Euro mengalami kontraksi sebesar 12,1 persen.
Resesi zona euro sebenarnya sudah diperkirakan sebelumnya karena negara-negara dengan perekonomian terbesar di Benua Biru itu menerapkan lockdown (karantina wilayah) yang masif dan ketat saat wabah Covid-19 merebak pada Maret lalu.
Negara-negara terbesar Eropa seperti Jerman, Prancis, Italia dan Spanyol mulai membatasi mobilitas publik pada akhir Maret dan baru merelaksasi mulai Mei.
Pada pembacaan awal kuartal II-2020 ekonomi Jerman menyusut 10,1 persen, Perancis minus 13,8 persen. Sementara Italia berkontraksi 12,4 persen dan Spanyol yang paling parah dengan penurunan output mencapai 18,5 persen. CNBC/SB/uyo/E-9