Diposkan pada: 28 Mar 2019 ; 771 Views Kategori: Artikel
Oleh: Kurniawati *)
Presiden Joko Widodo, 24 Maret 2019 bertempat di Bundaran HI, meresmikan pengoperasian Moda Raya Terpadu Jakarta (MRT Jakarta) Fase I. Peresmian ini menandai dimulainya peradaban dan budaya baru transportasi publik massal di Indonesia, khususnya Ibu Kota Jakarta.
Sebelum secara resmi dioperasikan, MRT Jakarta telah melewati serangkaian ujicoba. Saya pun cukup beruntung karena berkesempatan mencoba kereta yang diberi nama Ratangga ini pada akhir tahun lalu. Selain antusias tentu saja, terbersit rasa bangga. Kebanggaan itu tidak lain karena akhirnya Jakarta memiliki sebuah transportasi publik massal modern layaknya yang sudah terlebih dahulu dimiliki oleh kota-kota besar di dunia, sebut saja misalnya London, Seoul, Tokyo, atau ibu kota negara tetangga Singapura dan Malaysia.
MRT Jakarta Fase I memiliki rute dari Stasiun Lebak Bulus Grab menuju Stasiun Bundaran HI. Rute ini memiliki jarak tempuh sejauh 16 kilometer dan melalui 13 (tiga belas) stasiun yaitu: Lebak Bulus Grab – Fatmawati – Cipete Raya – Haji Nawi – Blok A – Blok M – ASEAN – Senayan – Istora Mandiri – Benhil – Setiabudi Astra – Dukuh Atas BNI –Bundaran HI.
Perjalanan dari Stasiun Bundaran HI menuju Stasiun Lebak Bulus memiliki waktu tempuh sekitar 20 menit, karena saat itu kereta tidak berhenti di setiap stasiun. Jika berhenti di setiap stasiun maka diperlukan waktu 30 menit untuk rute yang sama. Sungguh sebuah perjalanan yang sangat singkat dan tentu saja terbebas dari kemacetan Ibu Kota.
Moda transportasi massal ini bergerak menuju sisi selatan Jakarta dengan kecepatan maksimal 80 km/jam di jalur bawah tanah (sepanjang 6 km dari Stasiun Bundaran HI sampai Stasiun Senayan) dan 100 km/jam di jalur layang (sepanjang 10 km dari Stasiun ASEAN sampai Stasiun Lebak Bulus). Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya saya mengagumi infrastruktur MRT ini, terutama jalur bawah tanahnya yang membelah kawasan protokol Ibu Kota. Tak terbayangkan sebelumnya jika akhirnya Jakarta memiliki sebuah transportasi publik modern seperti ini.
Seperti namanya, Mass Rapid Transit atau dialihbahasakan menjadi Moda Raya Terpadu, MRT dirancang untuk dapat mengangkut penumpang dengan kapasitas dan frekuensi yang tinggi. Untuk MRT Jakarta, satu rangkaian kereta (trainset) terdiri dari 6 kereta, dengan daya angkut 1.200-1.800 penumpang. Pada saat mulai dioperasikan secara normal, moda ini rencananya akan diberangkatkan dari pukul 05.00 WIB hingga pukul 24.00 WIB setiap harinya. Rentang waktu pemberangkatan kereta adalah 5 menit pada jam sibuk dan 10 menit di luar jam sibuk. Dengan daya angkut dan jadwal pemberangkatan itu, bisa dibayangkan berapa banyak penumpang yang dapat diangkut oleh sang Ratangga ini setiap harinya.
Budaya Baru
Antusiasme untuk mencoba MRT juga ditunjukkan oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Hal itu terlihat dari ludesnya sekitar 400 ribu tiket uji coba publik MRT yang disediakan untuk pemberangkatan tanggal 12-24 Maret 2019. Banyaknya unggahan momen masyarakat saat menaiki MRT yang dibagikan di media sosial dan menjadikan topik MRT Jakarta menjadi trending menunjukkan gairah warga Ibu Kota dalam menyambut kehadiran sebuah budaya baru bertransportasi di Indonesia.
Namun sayang, euforia menyambut budaya baru ini menyisakan sedikit catatan yang layak menjadi perhatian kita bersama. Viralnya foto penumpang yang berdiri di kursi bahkan bergelantungan di hand strap (pegangan untuk penumpang yang berdiri) serta makan di dalam gerbong kereta menunjukkan minimnya kesadaran penumpang dalam memelihara kenyamanan dan menjaga fasilitas publik. Belum lagi foto pemandangan sampah yang berserakan di lantai stasiun MRT.
Potret antrean penumpang di peron yang tidak berdiri di belakang garis aman sehingga menghalangi penumpang yang akan turun juga mewarnai ujicoba publik ini. Saat di tangga atau eskalator menuju peron MRT, penumpang pun belum terbiasa untuk berjalan di sisi kiri dan menyisakan sisi lainnya untuk jalur mendahului.
Berkaca dari fakta uji coba publik ini, demi kenyamanan dalam menggunakan MRT Jakarta, budaya untuk menjaga kebersihan dan merawat fasilitas yang ada, baik di gerbong kereta maupun di stasiun perlu terus ditanamkan kepada masyarakat. Begitu pula dengan budaya antre dan disiplin waktu. Untuk menanamkan ini, kita bisa belajar dari penduduk kota-kota besar dunia yang telah terlebih dahulu memiliki budaya menggunakan transportasi publik massal, sebut saja contohnya Hong Kong, Singapura, Tokyo, London, atau New York.
Dari sisi sarana dan prasarana, di stasiun telah terlihat fasilitas umum seperti toilet untuk pria/wanita/difabel, eskalator, lift bagi difabel, tempat ibadah, dan ruang menyusui. Lampu-lampu dan rambu-rambu petunjuk pun telah tersedia untuk memudahkan pengguna.
Meskipun saat uji coba, kartu seluler tidak bisa digunakan saat kereta melintasi terowongan bawah tanah, namun setelah beroperasi normal sinyal operator seluler dijanjikan akan tetap stabil. Bahkan informasinya, MRT juga akan dilengkapi dengan fasilitas Wi-Fi.
Saat ini, pihak MRT Jakarta juga sudah menyediakan aplikasi MRT Jakarta yang dapat diunduh oleh pengguna smartphone. Melalui aplikasi ini penumpang dapat melihat info perjalanan, interkoneksi antarmoda, serta fasilitas-fasilitas yang ada. Di aplikasi ini juga terdapat formulir pengaduan pengguna. Namun, pada aplikasi ini belum terlihat fungsi tracking kereta dan moda transportasi lainnya, sebuah fitur yang sangat penting untuk memudahkan pengguna untuk merencanakan perjalanannya.
Terkait dengan jadwal keberangkatan kereta, saat ini layar display jadwal keberangkatan hanya terdapat di peron kereta dengan jumlah yang sangat terbatas. Seperti di Stasiun Bundaran HI, terpantau hanya terdapat di ujung peron. Tentu akan sangat membantu penumpang dalam merencanakan perjalanan jika layar display keberangkatan juga ada di area pembelian tiket serta di sisi tengah peron.
Untuk pembelian tiket, disediakan loket dan mesin tiket otomatis (ticket vending machine) yang berlokasi di dekat tap gate. Sebagai tambahan, kartu uang elektronik (e-money, TapCash, Brizzi, Flazz, dan Jakcard) juga akan bisa digunakan di MRT. Jumlah mesin tiket otomatis di setiap stasiun berbeda-beda, misalnya di Stasiun Blok M terlihat dua mesin berjejer di sisi pengetapan masuk (tap-in gate) dan satu mesin di sisi pengetapan keluar (tap-out gate). Sementara, di Stasiun Lebak Bulus terdapat tiga mesin di sisi tap-in gate dan satu mesin di sisi tap-out gate.
Namun, di Stasiun Bundaran HI terlihat hanya terdapat satu mesin di sisi tap-in gate dan satu mesin di sisi tap-out gate. Minimnya jumlah mesin tiket, seperti di Stasiun Bundaran HI ini, akan mengakibatkan terjadinya antrean di saat jam ramai (peak-time), seperti waktu berangkat dan pulang kerja. Untuk itu, mesin ini perlu diperbanyak, seperti layaknya di stasiun-stasiun Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line.
Selain itu, untuk pembelian tiket melalui mesin, saat ini hanya bisa dilakukan dengan uang tunai. Di era sekarang ini, demi kemudahan penumpang, penyediaan mesin tiket otomatis yang mendukung transaksi non-tunai rasanya layak untuk dipertimbangkan.
Fasilitas-fasilitas lain juga perlu terus ditambahkan atau ditingkatkan demi menjamin kenyamanan penumpang MRT. Misalnya, penambahan tempat sampah yang saat ini masih sangat sedikit, begitu juga dengan toilet.
Integrasi Antarmoda
Satu hal yang menjadi kunci dari sistem transportasi publik modern adalah integrasi antarmoda transportasi. Dengan adanya integrasi ini masyarakat dapat dengan mudah dan cepat berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dengan menggunakan berbagai moda transportasi publik. Misalnya di Jakarta masyarakat bisa menggunakan MRT, Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta, bus reguler, bus pengumpan, KRL, maupun kereta api.
Jika dilihat dari peta rute MRT, saat ini setiap stasiun sudah berdekatan dengan halte bus Transjakarta. Bahkan di Stasiun Dukuh Atas, selain halte bus Transjakarta, juga berdekatan dengan Stasiun KRL Sudirman dan Stasiun Kereta Api Bandara BNI City. Selain itu, terdapat juga halte bus reguler maupun bus MetroTrans. Stasiun MRT Bundaran HI, misalnya, telah terintegrasi dengan Halte Bus Transjakarta Bundaran HI, yang ditandai dengan adanya tangga langsung dari stasiun menuju ke halte tersebut. Stasiun ini juga cukup dekat dengan halte bus reguler, dengan jarak tidak lebih dari 100 meter.
Namun di beberapa stasiun lain, jarak menuju halte atau stasiun KRL dan kereta bandara terdekat cukup jauh. Seperti di Stasiun Blok M, penumpang harus keluar stasiun terlebih dahulu dan berjalan sekitar 500 meter untuk mencapai Halte Blok M.
Idealnya, untuk mewujudkan integrasi antarmoda, jarak antara stasiun dengan halte terdekat adalah seperti yang ada di Bundaran HI. Jika jarak tempuhnya lebih jauh, tentu diperlukan jalur yang nyaman sehingga penumpang lebih memilih untuk berjalan kaki dari stasiun MRT ke halte atau stasiun kereta terdekat, tidak naik ojek daring yang tentunya bukan bagian dari konsep integrasi antarmoda transportasi massal.
Selain jarak tempuh dari stasiun MRT ke halte atau stasiun KRL dan kereta bandara terdekat, hal yang penting dalam integrasi antarmoda adalah integrasi jadwal dan rute perjalanan. Masyarakat Jakarta tentu akan tertarik memakai transportasi publik jika waktu perjalanan menggunakan transportasi tersebut lebih singkat dari waktu yang diperlukan jika menggunakan kendaraan pribadi. Jadwal pemberangkatan yang terintegrasi antarmoda tentu akan mendukung hal tersebut.
Hal terakhir yang penting dalam integrasi antarmoda adalah integrasi sistem pembayaran. Jika penumpang bisa menggunakan satu metode pembayaran untuk semua moda transportasi maka akan sangat memudahkan.
Ayo Naik MRT!
Peresmian MRT Jakarta Fase I ini membawa angin perubahan menuju budaya baru bertransportasi publik di Indonesia, khususnya di Jakarta dan sekitarnya. Memang jalur MRT ini masih kalah dengan jalur MRT yang ada di Kuala Lumpur (51 kilometer), apalagi jika dibandingkan dengan jalur yang ada di Kota Seoul, salah satu kota dengan jaringan MRT terluas di dunia.
Namun, dengan diresmikannya pembangunan MRT Fase II dari Bundaran HI menuju ke utara sampai Kampung Bandan, serta rencana pembangunan jalur timur – barat (east – west), ditambah jalur Light Rail Transit (LRT) yang juga sedang dibangun, saya optimistis impian warga Jakarta untuk memiliki sistem transportasi publik modern akan terwujud.
Selain pembangunan jalur tersebut, peradaban baru bertansportasi publik ini tentu harus ditunjang dengan perubahan perilaku masyarakat sehingga dapat menciptakan kenyamanan dalam perjalanan. Perilaku menjaga kebersihan, antre, dan disiplin waktu, sebagaimana juga diingatkan Presiden Jokowi saat peresmian MRT, adalah budaya yang perlu terus dikembangkan untuk menciptakan kenyamanan dalam bertransportasi publik.
Disertai dengan peningkatan sarana dan prasarana serta pengintegrasian antarmoda yang lebih baik, tentu akan mendorong masyarakat dengan senang hati bersedia meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi publik. Sehingga, antusiasme yang ditunjukkan warga Ibu Kota saat ujicoba publik MRT Jakarta bukan hanya euforia sesaat, melainkan dapat dikonversi menjadi perubahan budaya penggunaan moda transportasi publik massal.
Ayo kita songsong budaya baru transportasi publik ini. Ayo naik MRT!
*)Penulis adalah pegawai pada Sekretariat Kabinet. Tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak merepresentasikan kebijakan tempat penulis bekerja.