ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Tgk Azhari, S.IP bukan politisi sembarangan. Laqab “cage” yang melekat pada nama anggota DPR Aceh ini menjelaskan siapa dirinya sebenarnya. Azhari Cage memang siap “mencakar” siapa saja yang mengganggu UUPA.
Terkini, “cakarannya” terbaca pada surat mundurnya dari anggota DPRA bertanggal 10 April 2010 yang ditujukan kepada Partai Aceh. Wakil Ketua Komisi I DPRA itu “mencakar” Pemerintah Pusat dan Mahkamah Konstitusi yang disebutnya telah mengkhianati Aceh.
Bagi politisi asal Pasee itu, mengabaikan UUPA dalam penyelesaian sengketa Pilkada itu artinya UUPA ilegal, padahal dengan UUPA lah adanya kepala daerah dan anggota dewan, juga partai lokal di Aceh.
Jika UUPA ilegal, menurutnya maka dirinya pun sebagai anggota DPRA ilegal, dan ia memilih mundur. Ia kecewa karena diabaikannya UUPA sebagai bagian lex specialis dalam penyelenggaraan Pilkada.
Itulah “cakaran politik” terakhir Azhari Cage, kaitannya dengan UUPA. Sebelumnya, ia pernah juga mencakar MK karena mengabulkan judicial review Pasal 67 ayat 2 huruf g UUPA yang diajukan oleh Abdullah Puteh.
“Jadi apabila raqan ini disahkan sama halnya kita telah mengakui penghilangan pasal 67 ayat 2 huruf g dan juga mengingkari pasal 269 UUPA,” kata Azhari Cage sebagaimana banyak diwartakan oleh media awal Oktober 2016, dan juga menyebut penolakan Raqan Pilkada untuk menjaga marwah DPRA. Entah bagaimana ceritanya pula hingga Qanun Pilkada perubahan disahkan oleh DPRA, yang kita tahu, “cakaran” Azhari Cage juga menjadi catatan bagi Fraksi Partai Aceh saat itu dalam sidang paripurna di DPRA.
Hanya saja ada sedikit catatan tercecer berikut ketika Azhari Cage di sidang paripurna ketiga (6/10/2016) itu meminta agar perubahan Qanun 5/2012 jangan disahkan dulu.
Alasannya meminta untuk ditunda karena tahapan Pilkada sudah berjalan dengan berpedoman pada UU Pilkada, PKPU, selain berpedoman pada Qanun Pilkada 5/2012 yang sudah ada. “Artinya, walau perubahan qanun tidak disahkan, masih ada pedoman dan aturan untuk menyelenggarakan Pilkada Aceh,” katanya yang ikut dikutip sejumlah media. Mengingat ini, terasa sedikit hambar pada “cakaran politiknya” yang kini berujung mundur.
Kini, simalakama bisa jadi melanda seluruh anggota DPRA lainnya dari lokal. Jika logika mundurnya Azhari Cage diterima maka seluruh anggota DPRA lainnya dari partai lokal juga harus mundur massal. Tapi, jika tidak setuju dengan mundurnya Azhari maka itu artinya bersebarangan dengan pandangan politik Azhari.
Apakah Azhari akan “mencakar” lagi jika logikanya tidak diikuti rekan politiknya dari partai lokal lainnya? Semoga selalu ada jalan keluar yang elegan.
Politik terkadang juga cara menyuguhkan informasi kepada publik, bila didukung luas oleh publik, maka mundur bisa jadi jalan kembali yang keren, dan bisa jadi juga sebagai jalan meniti karir politik yang lebih tinggi, pada waktunya. Kita lihat saja nanti, bagaimana pendapat pembaca?[]