Kita sepertinya rela-rela saja Indonesia tercinta dijadikan pakaian penipuan dan pemerasan penjahat Tiongkok. Beberapa kali dilakukan penggerebekan dan penangkapan masal, biasanya berakhir dengan deportasi. Dalam hukum pidana, kasus penipuan (termasuk via online dan siber) adalah delik aduan. Memang sulit menunggu pengaduan dari korban yang juga beralamat di Tiongkok. Kalaupun akhirnya ada, rumit juga proses peradilannya. Yang paling ”efisien” ya dideportasi.
Namun, seperti terlihat dari berulangnya kasus serupa, bisa jadi Indonesia sudah menjadi tempat yang nyaman untuk basis kejahatan bermotif keserakahan tersebut. Tak heran jika selalu muncul komplotan yang bermodal cukup kuat, termasuk untuk menyewa rumah besar ratusan juta rupiah per tahun. Sepertinya tak ada efek jera.
Apalagi, kita tak bisa memastikan apakah semua orang yang terlibat penipuan itu diadili secara layak di Tiongkok. Tentu saja tak selayaknya negara kita dijadikan basis kejahatan –sekalipun korbannya juga orang asing. Kita tetap perlu mengawasi, termasuk pengawasan oleh tetangga. Bukankah selama ini justru di kawasan kampung pengawasan serupa bisa jalan? Selalu ada pengumuman standar:
Tamu Lewat 1 x 24 Jam Harap Lapor RT. Atau para komplotan penjahat asing itu sudah tahu bahwa yang justru tak terawasi adalah kawasan permukiman mewah. Rumah berpagar tinggi di dalam cluster jelas sulit terawasi dalam kehidupan bertetangga.
Pemilik rumah pun sepertinya tak curiga (atau tak mau tahu) rumahnya disewa orang asing yang beraktivitas di rumahnya dalam jumlah banyak.
Selain mengandalkan polisi, memang diperlukan tindakan lebih komprehensif. Misalnya, pengetatan SIM card memang tak bisa ditunda lagi. Sebelum negara ini menjadi sarang mafi a penipu asing ”tak tersentuh hukum”. (*)
LOGIN untuk mengomentari.