Presiden Jokowi berencana meminta penjelasan Kapolri Jenderal Tito Karnavian terkait perkembangan kasus penyiraman terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Menanggapi itu, Polri hingga saat ini berdalih masih menghadapi kendala teknis yang membuat kasus penyiraman dengan asam sulfat itu menemui jalan buntu.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Brigjen Rikwanto menuturkan, penyidik telah berupaya dengan berbagai cara, seperti menggunakan metode induktif dan deduktif. Metode induktif ini dengan berangkat dari tempat kejadian perkara (TKP). “Hasil olah TKP dijadikan bahan membuka peristiwa yang sebenarnya terjadi,” tuturnya.
Metode deduktif yang mempelajari motif yang diduga melatarbelakangi kejadian tersebut juga digunakan. Penyidik berupaya melihat benang merah siapa saja yang diduga terkait dengan kejadian tersebut. “Kedua cara ini kerap kali efektif mengungkap kasus pidana,” jelasnya.
Namun, banyak juga pidana yang karakteristik dan tingkat kesulitannya berbeda. Kendala teknis sering membuat penyidikan menemui jalan buntu. Kondisi itu membuat penyidik harus kembali ke proses awal. “Tidak terkecuali dengan kasus yang menimpa Novel,” papar jenderal berbintang satu tersebut.
Ada berbagai kasus yang ditangani Polri hingga saat ini belum terungkap pelakunya, selain Novel, ada juga penembakan anggota Provos Direktorat Airud Polri Bripka Sukardi di Jalan Rasuna Said pada 2013 dan anggota Binmas Polsek Cilandak Aiptu Dwiyatna di tahun yang sama. “Keduanya meninggal dunia akibat penembakan itu, tapi pelakunya hingga saat ini juga belum terungkap,” jelasnya.
Untuk Bripka Sukardi ditembak sekitar pukul 22.30, telah dilakukan analisa terhadap closed circuit television (CCTV) di semua kawasan Rasuna Said. Namun, sayang pelaku tidak terekam semua CCTV itu. “Informasi juga dikumpulkan dari CCTV KPK,” Terangnya.
Lalu, penembakan terhadap Aiptu Dwiyatna terjadi sekitar pukul 05.00. Saat itu Dwiyatna sedang perjalanan berangkat bekerja. “Berbagai penyidikan dilakukan, namun belum juga terungkap siapa pelakunya,” paparnya.
Bahkan jalan buntu juga terjadi kendati peralatan canggih sudah dimiliki. Seperti kasus pengeboman pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris, Perancis. Saat itu CCTV di Paris sudah tergolong canggih, namun sampai sekarang kasus itu belum juga kelar. “Polisi Perancis juga sudah berupaya,” ungkapnya.
Menurutnya, bukan berarti polisi tidak bekerja, penyidik sudah berupaya secara maksimal. Sudah ada lima orang yang diamankan yang awalnya diduga terkait kasus Novel, namun belakangan diketahui ternyata tidak terlibat. “Uji alibi menyimpulkan mereka tidak terlibat,” terangnya.
Pengungkapan sebuah kasus pidana kadang kala hanya masalah waktu saja. Adanya cepat terungkap, ada pula yang cukup lama terungkap. Bahkan, ada yang sangat lama baru diketahui kebenarannya. “Ini karena persoalan tingkat kesulitan yang berbeda-beda,” tuturnya.
Penyidik Polda Metro Jaya dengan dibantu Bareskrim masih berupaya mengungkapnya, namun sekaligus berharap ada masukan informasi yang signifikan dari masyarakat, korban atau pihak manapun. “Agar bisa menjadi bahan menyelesaikan kasus tersebut,” urai mantan Kabidhumas Polda Metro Jaya tersebut.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menyatakan, alasan kepolisian yang kesulitan mengungkap kasus Novel menjadi salah satu poin pentingnya pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF). Karena itu, pihaknya berharap Presiden Joko Widodo segera membentuk tim itu guna membantu tugas polisi.
“Maka dari itu, presiden bentuk TGPF saja kalau polisi selalu bilang susah,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos (grup Padang Ekspres). Masyarakat sipil antikorupsi yang terdiri dari perwakilan organisasi masyarakat, praktisi hukum dan mantan pimpinan KPK pun siap berbagi data serta fakta sebagai pertimbangan presiden untuk membentuk TGPF. “Kami siap berikan data dan fakta itu,” terangnya.
Sementara itu, Novel mengatakan pembentukan TGPF merupakan jalan terakhir agar kasus penyiraman tersebut terungkap. TGPF itu bukan hanya untuk dirinya secara umum. Melainkan berguna juga untuk mengembalikan kepercayaan penyidik serta pegawai KPK yang selama ini kerap mendapat teror dan ancaman.
“Ini peristiwa (teror) bukan yang pertama bagi saya, kalau dibiarkan akan sangat buruk bagi penyidik dan pegawai KPK yang lain,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos. Novel pun masih meyakini kasusnya tidak akan terungkap bila masih ditangani kepolisian. Hal itu berkali-kali dia sampaikan. Karena itu, dia meminta presiden melihat persoalan itu sebagai satu masalah besar.
“Persoalan ini jangan hanya fokus ke saya saja,” ungkap mantan Kasat Reskrim Polres Bengkulu itu. Saat ini, Novel masih menunggu jadwal operasi tahap II di Singapura. Pengobatan mata Novel menunjukkan progress positif meski jadwal operasi pada 20 Oktober lalu urung terlaksana lantaran belum meratanya pemulihan gusi yang terpasang di mata. Dokter yang menangani Novel memperkirakan operasi mata kiri baru bisa dilakukan 1-2 bulan kedepan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.