in

Banyak Membaca Kunci Menangkal “Hoax”

Budaya literasi harus ditumbuhkan di masyarakat sejak dini. Ini diperlukan untuk menangkal serbuan berita bohong atau hoax yang marak di masyarakat.

JAKARTA – Budaya literasi harus ditumbuhkan sejak usia dini untuk menangkal serbuan hoax atau berita bohong. Semakin banyak membaca, akan semakin kecil kemungkinan seseorang mempercayai hoax.

Direktur Jenderal Pendidikan Anaka Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD Dikmas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Harris Iskandar, menyatakan pihaknya mendorong meningkatnya budaya literasi masyarakat, utamanya melalui jalur sekolah. Budaya literasi harus ditumbuhkan sejak dini untuk menangkal serbuan berita bohong.

“Kami terus mendorong pendidikan literasi sejak dini, akan menjadi modal seseorang dalam melawan berita bohong,” tegas Harris dalam diskusi dengan tema Meredam Hoax Membangun Literasi Nasional, di Jakarta, Jumat (10/3).

Dalam dunia pendidikan, kata Harris, ada enam literasi dasar yang sebenarnya sudah diperkenalkan secara bertahap sejak dini. Keenam literasi dasar itu adalah baca, tulis, berhitung, literasi sains, literasi teknologi informasi dan komputer, literasi keuangan, dan literasi budaya, serta kewarganegaraan.

“Jadi di era abad 21 ini, seseorang harus menguasai enam literasi dasar itu. Tidak hanya sekadar membaca dan menulis saja,” jelasnya.

Tidak hanya memasuki abad 21, peningkatan budaya literasi juga sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan generasi mudah Indonesia dalam memanfaatkan bonus demografi beberapa tahum mendatang. Sebuah era di mana jumlah SDM usia produktif akan lebih banyak, bahkan berlimpah dibanding usia tidak produktif. “Ini hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu bangsa.

Jadi, harus kita manfaatkan dengan baik,” papar Harris.Budaya literasi itulah yang diyakini Harris mampu menumbuhkan sikap kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif dalam jiwa generasi penerus bangsa.

“Jika sudah menguasai sikap-sikap itu maka hoax akan dengan mudah ditangkal,” tegasnya.

Seperti diketahui, kemajuan TIK yang begitu pesat saat ini memungkinkan siapa pun untuk dapat membagikan informasi secara cepat. Namun sayangnya, tidak semua informasi tersebut merupakan berita benar, atau saat ini akrab dikenal sebagai berita bohong.

Kurang Kritis

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta, Hilmat Kurnia, sepakat bahwa budaya literasi utamanya membaca dapat mengasah kemampuan masyarakat untuk menyaring informasi.

“Hoax itu terjadi karena masyarakat kurang kritis, dan tidak memiliki gagasan. Dalam hal ini, ketika mendapat informasi lupa saring. Apalagi keriuhan dengan politik seperti Pilpres dan Pilkada, informasi hoax langsung menyebar luas,” papar Hilmat.

Sementara itu, Dirjen Kebudayaan Kemdikbud, Hilmar Farid, menambahkan di era banyaknya serbuan hoax menantang masyarakat untuk kritis dalam menerima informasi. “Harus ditinjau kembali kebenarannya saat menerima informasi, tidak asal dipercaya, apalagi langsung menyebarkan,” jelasnya.

Ia menyayangkan kebiasaan menelan mentah hoax tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat menengah ke bawah, namun juga masyarakat menengah atas yang memiliki tingkat pendidikan memadai.

Bahkan, ada sebuah kejadian, di mana seorang ilmuwan, Alex Soldier, pernah dengan sengaja menulis artikel dengan data fiktif.

Namun ternyata, artikel tersebut diloloskan editor jurnal ilmiah. “Untungnya, setahun kemudian penulisnya mengaku jika itu fiktif. Jadi, hoax ada baiknya juga untuk menguji pengetahuan kita,” tutur Hilmar. cit/E-3

What do you think?

Written by virgo

​Cowok Tidak Merokok itu Keren! Kesehatannya Saja Dijaga, Apalagi Kamu

Matangkan Kegiatan HPN 2017 di Dumai, PWI Gelar Audiensi dengan Walikota