Penemuan batu tagak berbentuk lingga (kelamin laki-laki) di daerah Sungayang, beberapa waktu lalu ditanggapi oleh warga internet dengan berbagai pandangan. Sebagian kecil melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan mengomentarinya dengan cara pandang yang ilmiah. Sedang kebanyakan menggangap penemuan tersebut aib bagi kebudayaan Minangkabau. Artefak kebudayaan itu dikatakan sebagai “bukan bagian dari kebudayaan Minang”. Seolah-olah artefak kebudayaan itu adalah sesuatu yang sangat memalukan untuk menjadi bagian dari kebudayaan Minangkabau yang identik dengan agama tertentu, seakan-akan simbol-simbol lokal yang bukan agama tertentu tersebut adalah bukan Minangkabau. Menhir, yang merupakan produk budaya dari masyarakat yang memiliki peran penting dalam proses pembentukan sistem kebudayaan Minangkabau, kini dianggap bukan bagian dari kita. Ia tiba-tiba menjadi sesuatu yang asing, yang tidak bisa diterima, harus disembunyikan, dibuang.
Kenapa pernyataan-pernyataan yang mengkhawatirkan seperti itu dapat muncul? Ada beberapa kemungkinan. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman sejarah, pola pikir yang ahistoris.
Berbagai masyarakat berupaya menandai waktu untuk menentukan kapan kebudayaan mereka mulai diselenggarakan guna menetapkan dasar dari kebudayaan tersebut dan selanjutnya merumuskan bentuk kebudayaan yang ideal. Dalam kaitan dengan pemahaman sebagian masyarakat Minangkabau dalam menentukan apa yang menjadi dasar dari Minangkabau. Kebanyakan kita hari ini cenderung menetapkan waktu permulaan kebudayaan Minangkabau dimulai beriringan dengan terlembaganya Islam ke dalam kebudayaan Minangkabau pra-Islam, dan dengan sikap demikian kita dituntun untuk membayangkan bentuk ideal budaya Minangkabau sebagai Minangkabau yang berdasar adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Hal tersebut sah-sah saja. Namun, sangat disayangkan, demi mempertahankan apa yang kita sangka ideal, telah final dan tuntas itu kita jadi kehilangan kejernihan berpikir dan kelapangan pikiran dalam menyikapi suatu masalah, terutama mengenai unsur-unsur budaya lain di luar budaya yang (kita sangka) telah mencapai bentuk finalnya.
Dengan mengandaikan bahwa sejarah kebudayaan Minangkabau (baru) dimulai ketika kerajaan Pagaruyung menjadi Islam atau ketika piagam bukit Marapalam yang masih kontroversial itu muncul dalam sejarah, maka kita telah memutus sejarah dan menolak kenyataan sejarah bahwa di kawasan sama, yang sekarang dinamai Sumatera Barat, pernah hidup beragam kebudayaan. Di mana animisme serta Hindu-Budha bahkan kebudayaan barat yang dibawa kaum kolonial adalah unsur-unsur tak terpisahkan yang memainkan peranan penting dalam proses pembentukan sistem kebudayaan yang hari ini kita sebut Minangkabau—bukan dari satu agama saja.
Menhir, batu tagak, (yang berorientasi ke Gunung Sago dan Marapi) adalah hasil kebudayaan masyarakat animisme yang keberadaannya dalam sejarah panjang di kawasan Sumatera Barat tidak bisa kita tepis, dan terpenting, merupakan masyarakat yang menyediakan dasar dari kebudayaan Minangkabau itu sendiri.
Para peneruka awal di daerah Mahek, Limapuluh Kota sekarang, misalnya, adalah masyarakat yang berhasil mengembangkan sistem kebudayaan dari tingkat yang masih sederhana menuju tingkat selanjutnya. Dari masyarakat nomaden yang menghuni gua-gua ke masyarakat pendukung kebudayaan menetap dan mengolah (bertani, berladang, berternak).
Dari kebudayaan sederhana inilah masyarakat dan sistem kebudayaan yang kini kita sebut Minangkabau bermula. Manusia-manusia awal yang telah mengenal cara-cara mengolah tanah dan berternak, mulai meneruka hutan-hutan liar. Untuk mengelola lahan-lahan yang baru dibuka itu muncullah pembagian kerja dan kepemilikan lahan di mana kaum perempuan menempati posisi penting. Dengan demikian dapat dikatakan dasar dari kebudayaan matrilineal, yang berarti juga fondasi bagi keseluruhan struktur masyarakat Minangkabau, telah mulai dikembangkan oleh masyarakat pendukung kebudayaan animisme jauh-jauh hari.
Begitu pula dengan kebudayaan Hindu-Budha. Sistem kerajaaan yang dikembangkan pendukung kebudayaan Hindu-Budha diterapkan pada masayarakat pra-Hindu-Budha yang ada di Sumatera, merupakan cikal bakal kerajaan Pagaruyung yang telah melahirkan semacam ikatan kultural yang sampai hari ini bertahan. Ikatan itu muncul karena pembayangan-pembayangan wilayah kekuasaan, baik secara kultural atau “adaminisitratif”, di bawah kerajaan Pagaruyung. Ikatan kesukuan (identitas kita sebagai Minang) amat berkaitan dengan wilayah geografis bekas “kekuasaan” Pagaruyung yang kemudian diadopsi oleh pemerintah kolonial demi kepentingan kolonialisme mereka lalu dilanjutkan oleh pemerintahan Indonesia sampai hari ini.
Kolonialisme juga membawa modernisme. Kota-kota dagang pantai barat Sumatera mengalami modernisasi. Masyarakat dengan kebudayaan tutur, yang baru saja memasuki budaya tulis seiring masuknya kebudayaan Islam, mulai mengenal budaya cetak. Usaha-usaha percetakan pun dirintis sampai ke darek, percetakan-percetakan yang nantinya akan menggandakan tambo. Tambo-tambo itulah yang pada gilirannya menjadi rujukan penting bagi masyarakat Minangkabau sendiri untuk mengukuhkan identitas dan sistem kebudayaan yang fondasinya telah disiapkan oleh para peneruka awal di pedalaman Sumatera Barat.
Identitas dan sistem kebudayaan Minangkabau, dalam proses pembentukannya, sangat terkait dengan berbagai peristiwa masa lalu yang sama sekali tidak tunggal dan hitam putih. Ia ragam. Ia bukan keterputusan melainkan keberlanjutan. Ia terbangun dari himpitan-himpitan pelbagai sengkarut pertistiwa dalam sejarah yang amat panjang, tidak bisa dilihat sebagai produk dari satu periode sejarah saja atau bagian dari satu ragam agama saja.
Jika kita masih betah dengan cara pikir ahistoris, maka kita akan gagap ketika menghadapi kenyataan bahwa sejarah, dunia, kehidupan ini begitu ragam sehingga kita akan menjadi terlalu defensif dalam menyikapinya, karena berusaha melindungi bentuk budaya ideal. Dan akhirnya akan menjebak kita ke dalam pemahaman yang sempit yang menolak keragaman serta menolak perubahan secara mentah-mentah sementara perubahan adalah keniscayaan yang bersamanya kebudayaan selalu berada dalam keadaan menjadi, belum final, belum akan tuntas. (*)
LOGIN untuk mengomentari.