in

Beban LP Harus Dikurangi

Menkum HAM: Geser Sebagian Napi ke LP Lain

Perbaikan pengelolaan lembaga pemasyarakatan (LP) secara menyeluruh tidak bisa ditunda lagi. Itu menyusul kerusuhan di area LP kembali terjadi. Kali ini di LP Klas II A Jambi.

Jumlah narapidana (napi) yang tidak sebanding dengan kekuatan pengamanan petugas LP menjadi salah satu faktor kerusuhan, Rabu (1/3) malam itu, sulit dikendalikan.

Pascakerusuhan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) langsung melakukan investigasi internal terhadap petugas LP. Langkah itu untuk mengetahui secara detail penyebab pecahnya kerusuhan.

“Kami ke lokasi (LP Klas II A Jambi) untuk cek informasi,” ujar Kasubag Publikasi Humas Ditjenpas Syarpani, kemarin (2/3).

Sebagaimana diberitakan, sekelompok warga binaan LP Klas II A Jambi membakar gedung koperasi dan sebuah pondok peristirahatan di area dalam LP Mereka diduga mengamuk karena menolak razia narkoba oleh aparat gabungan kepolisian dan petugas LP malam itu. Ada 4 orang napi yang berhasil kabur.

Situasi crowded  diduga menjadi penyebab kaburnya napi tersebut. Syarpani mengakui kondisi LP tersebut over (melebihi) kapasitas seperti mayoritas LP di tanah air. Dia menyebutkan, per 1 Maret lalu LP tersebut tercatat menampung 1.750 napi. Padahal, kapasitas LP hanya untuk 250 orang.

Kondisi itu pun menyebabkan petugas kewalahan ketika kerusuhan pecah. “Informasi awal memang itu (menolak razia), tapi kami masih selidiki lagi,” paparnya. Kepastian penyebab kerusuhan baru akan diketahui setelah investigasi internal selesai.

Kerusuhan di LP Klas II A Jambi menambah catatan kejadian serupa sepanjang 2016. Berdasar data Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) setidaknya empat kerusuhan terjadi tahun lalu.

Yakni, kerusuhan di LP Narkotika Klas II A Banceuy, LP Kelas II B Kuala Simpang, LP Kelas II A Kota Denpasar atau LP Kerobokan, dan LP Malabero Bengkulu. “Penyebabnya sama semua,” ungkap Koordinator Program PBHI Julius Ibrani kepada koran ini kemarin.

Penyebab yang dia maksud tidak lain adalah LP overcapacity. Namun, pria yang akrab dipanggil Julius itu menyebutkan, masih ada pemicu lain yang berujung kerusuhan. “Pelayanan buruk,” kata dia. Jumlah sipir dengan penghuni LP yang tidak sebanding pun turut memberi andil.

Data Ditjen Pas Kemenkum HAM menyatakan, total penghuni LP Kelas II A Jambi saat ini sebanyak 1.750 jiwa. Angka itu jauh lebih besar ketimbang jumlah sipir yang hanya 61. Artinya setiap sipir harus mampu menjaga 28 penghuni LP.

Dengan kondisi itu, kerusuhan amat rentan terjadi. Menurut Julius hal serupa berlaku untuk LP lain di seluruh Indonesia. Contohnya Jambi. Dari delapan LP, enam di antaranya sudah overcapacity.

Hanya LP Kelas III Sarolangun dan LP Narkotika Kelas III Muara Sabak yang jumlah penghuninya di bawah kapasitas maksimal. Sedangkan LP Kelas II A Jambi yang paling parah kondisinya.

“Ada overcrowding 694 persen,” ucap dia. Bagaimana tidak, jumlah penghuni sebanyak 1.750 jiwa jauh melampaui kapasitas LP pada angka 250 jiwa.

Menurut Julius, pemerintah harus memberikan perhatian lebih besar terhadap pengelolaan LP. Mereka wajib mencari cara agar LP tidak overcapacity. Salah satu yang bisa dilakukan, menyelesaikan persoalan dari akar. Yakni, dengan menyaring penghuni LP.

Dia mencontohkan penghuni LP dengan latar belakang kasus narkotika. Berdasar data pertengahan tahun lalu, 34 persen dari total penghuni LP di tanah air adalah tahanan dan narapidana kasus narkotika. “Angka tertinggi (penghuni LP) per Juni 2016 adalah kejahatan narkotika,” ujarnya.

Dari data itu diketahui jumlah penghuni LP dengan latar belakang kasus narkotika tidak kurang dari 68.118 jiwa. Julius berpendapat, data itu menunjukan bahwa perspektif penanganan dan proses hukum terhadap kasus narkotika belum berubah. Masih menjadikan hukuman penjara

Padahal, tidak semua yang terlibat kasus narktika harus dipenjara. “Bisa direhabilitasi,” jelasnya. Apabila disaring dengan baik, penghuni LP berlatar belakang kasus narkotika berkurang. Secara langsung itu akan menurunkan angka penghuni LP.

Selain itu, penyaringan kasus yang melibatkan anak di bawah umur juga bisa menekan jumlah penghuni LP. Dia menilai, tidak semua anak di bawah umur yang terlibat persoalan hukum harus mendekam di balik jeruji.

Apabila sudah bisa menyaring dan mengurangi jumlah penghuni LP, masalah lain bisa diselesaikan bertahap. Pelayanan buruk yang selama ini masih terjadi bisa diperbaiki. Sehingga, tekanan terhadap penghuni LP turun. “Dengan begitu permasalahan di LP terjawab dari akarnya,” terang dia.

Soal napi yang kabur saat kerusuhan di LP Klas II A Jambi, Kabagpenum Divhumas Mabes Polri Kombespol Martinus Sitompul mengungkapkan, dalam kerusuhan tersebut terdapat empat napi yang kabur. Tiga orang napi kasus narkotika dan satu orang napi kasus penganiayaan.

“Untuk mengejar mereka, ada empat tim yang dibentuk. Masing-masing tim berjumlah lebih dari lima petugas. Mereka akan menyisir hingga ke setiap keluarga napi. Kami imbau para napi yang kabur untuk menyerahkan diri,” paparnya.

Jika tidak menyerahkan diri, lanjutnya, maka petugas tentu akan bertindak dengan tegas dan terukur. Apalagi, bila ada perlawanan saat akan ditangkap. “Cepat atau lambat, pasti yang kabur ini tertangkap,” papar mantan Kabidhumas Polda Metro Jaya tersebut

Tidak hanya yang kabur, napi yang menjadi provokator untuk kerusuhan tersebut tentu juga harus bertanggung jawab. Namun, penindakan tidak langsung dilakukan. “Kita tunggu suasana lebih teduh lagi,” ungkapnya.

Kerusuhan terpicu adanya razia, apakah perlu perbaikan metode razia? Martinus menjelaskan bahwa lembaga pemasyarakatan itu memang menjadi salah satu obyek dalam patroli. “Sehingga kondisinya juga dicek, dikunjungi,” ujarnya.

Namun, karena massa yang jumlahnya banyak tentu sangat sulit diprediksi apa yang terjadi. Kalau mau anarkis, baru tanda-tandanya terlihat.  “Sebenarnya memang perlu untuk kita kendalikan satu per satu dalam razia,” ungkapnya.

Apakah perlu penambahan jumlah anggota saat razia? Dia mengungkapkan, sebenarnya jumlah personel sudah banyak, mencapai 100 orang dengan dibagi dua blok. “Tetapi, mereka melakukan perlawanan dengan melempar batu dan membakar barang-barang,” ungkapnya.

Sementara itu, Menkum HAM Yasonna H Laoly mengakui over-kapasitas LP tersebut. Beberapa tuntutan napi di LP itu, di antaranya air bersih dan septic tank. “Bisa dibayangkan, 300 (kapasitas), 1.700 lebih isinya,” terangnya di kompleks Istana Kepresienan, kemarin (2/3).

Langkah yang memungkinkan adalah menggeser sebagian napi di LP itu ke LP lainnya. “Yang sudah inkracht kami geser ke daerah-daerah lain untuk mengurangi overkapasitas,” terangnya.

Problemnya adalah, sebagian besar LP lain juga hampir penuh. Namun, pihaknya akan mengupayakan bila memungkinkan dipindah, para napi itu akan dipindah. 

Untuk saat ini, lanjut Yasonna, hanya itu langkah yang realistis untuk dilakukan. Dia akan melihat napi mana saja yang sudah memungkinkan untuk dipindahkan ke tempat lain. Bisa saja di LP lain dalam satu provinsi. “Kita lihat suasananya seperti apa. Kalau nanti ada napi (kasus) berat-berat, mungkin bisa kami geser,” lanjutnya.

Yang jelas, untuk saat ini situasi di LP sudah undercontrol. Dengan jumlah napi yang sangat besar, petugas juga tidak mudah untuk mengawasi seluruhnya satu per satu.

Bila anggaran sudah memungkinkan, pihaknya akan mengupayakan penambahan kapasitas di Jambi. Bisa berupa bangunan baru atau menambah bangunan di lapas yang sudah berdiri. 

Sementara itu, sosiolog Imam B Prasodjo mengatakan, persolan di LP sebenarnya bisa diselesaikan bila pihak terkait segera melakukan evaluasi secara kelembagaan.

Terutama, soal manajemen pembinaan napi di dalam LP. Menurutnya, sistem pembinaan LP saat ini belum bisa diandalkan bila masih bergantung pada kebijakan menteri.

Semestinya, kata dia, LP dan rumah tahanan (rutan) dikelola oleh badan yang terpisah dari birokrasi. Dengan demikian, pembinaan napi dan pengelolaan area dalam LP bisa lebih fokus tanpa harus mengedepankan struktur birokrasi yang rumit.

“Masalah LP ini kan banyak unitnya, saya khawatir (Ditjen Pas) kurang fokus,” ujar Prasodjo saat dihubungi koran ini, kemarin. Dia mengatakan, LP dan rutan itu nantinya bisa juga dikelola secara berkelanjutan oleh badan tersebut.

Bahkan, lebih jauh unit-unit LP dan rutan yang merupakan aset negara itu bisa juga dikombinasikan dengan program-program produktif. Tentu saja dengan melibatkan para napi dan tahanan untuk menjadi tenaga terampil. 

“Perlu manajer yang memiliki spirit entrepreneur yang bisa mengembangkan tenaga produktif,” ungkapnya. Selain itu, pemerintah juga mesti mengevaluasi lembaga penegak hukum.

Selama ini, stigma aparat masih menganggap pelanggar hukum mesti dijebloskan ke dalam penjara. Kondisi itu yang memicu LP dan rutan selalu overcapacity. 

Menurut Prasodjo, tidak semua orang yang melanggar hukum mesti mendekam dalam LP. Ada beberapa kategori pelanggaran yang sejatinya bisa diarahkan ke model pembinaan lain sebagai ujung proses hukum terakhir. Misal, tindak pidana yang dilakukan anak-anak dan pelaku narkoba.

“Mestinya ada semacam lembaga pendidikan (untuk pembinaan pelaku tindak pidana anak-anak, red),” ucapnya.

Evaluasi Kelembagaan

Sementara itu, sosiolog Imam B. Prasodjo mengatakan, persoalan di LP sebenarnya bisa diselesaikan bila pihak terkait segera melakukan evaluasi secara kelembagaan.

Terutama soal manajemen pembinaan napi di dalam LP. Menurutnya, sistem pembinaan LP saat ini belum bisa diandalkan bila masih bergantung pada kebijakan menteri.

Semestinya, kata dia, LP dan rumah tahanan (rutan) dikelola oleh badan yang terpisah dari birokrasi. Dengan demikian, pembinaan napi dan pengelolaan area dalam lapas bisa lebih fokus tanpa harus mengedepankan struktur birokrasi yang rumit.

“Masalah LP ini kan banyak unitnya, saya khawatir (Ditjen Pas) kurang fokus,” ujar Prasodjo saat dihubungi, kemarin. Dia mengatakan, LP dan rutan itu nantinya bisa juga dikelola secara berkelanjutan oleh badan tersebut.

Bahkan, lebih jauh unit-unit LP dan rutan yang merupakan aset negara itu bisa juga dikombinasikan dengan program-program produktif. Tentu saja dengan melibatkan para napi dan tahanan untuk menjadi tenaga terampil. 

“Perlu manajer yang memiliki spirit entrepreneur yang bisa mengembangkan tenaga produktif,” ungkapnya.

Selain itu, pemerintah juga mesti mengevaluasi lembaga penegak hukum. Selama ini, stigma aparat masih menganggap pelanggar hukum mesti dijebloskan ke dalam penjara. Kondisi itu yang memicu lapas dan rutan selalu overcapacity. 

Menurut Prasodjo, tidak semua orang yang melanggar hukum mesti mendekam dalam LP. Ada beberapa kategori pelanggaran yang sejatinya bisa diarahkan ke model pembinaan lain sebagai ujung proses hukum terakhir. Misal, tindak pidana yang dilakukan anak-anak dan pelaku narkoba.

“Mestinya ada semacam lembaga pendidikan (untuk pembinaan pelaku tindak pidana anak-anak, Red),” ucapnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Seleksi Calon Penasihat KPK, 34 Orang Lolos Administrasi

Polri-Arab Saudi Teken MoU soal Kejahatan Transnasional