TNI mendadak mencopot dua orang pejabat teritorial TNI di Provinsi Banten. Pencopotan itu terkait langkah pejabat itu yang memberikan pelatihan bela negara terhadap anggota Laskar Pembela Islam (LPI).
Petinggi TNI di Jakarta beralasan pencopotan itu dilakukan karena bawahannya menyalahi prosedur, tidak melaporkan kegiatan bela negara tersebut ke atasan.
Namun muncul kesan TNI cuci tangan setelah publik ramai mengkritik pelatihan bela negara terhadap LPI. TNI hanya mempermasalahkan prosedur, dan menganggap enteng pelatihan fisik terhadap Laskar Islam.
Apalagi, jauh sebelum geger latihan bela negara di Banten itu, pada empat tahun lalu TNI juga pernah memberikan latihan khusus kepada anggota Laskar Pembela Islam di Pamekasan Madura.
Laskar Pembela Islam atau LPI merupakan sayap paramiliter dari ormas FPI. Citra FPI maupun LPI selama ini tidak terlalu baik di mata masyarakat, bahkan cenderung negatif. Kelompok ini terlibat berbagai kegiatan sweeping atau razia atas nama agama, terutama ke tempat hiburan.
Dari nama, atribut dan tindakan, Laskar ini lebih mengarah kepada kelompok milisi sipil. Citra itu membuat mereka mendapat perlawanan,terutama saat berniat melebarkan sayap di daerah. Banyak kelompok masyarakat menolak kehadiran FPI maupun sayap militer mereka LPI di daerah.
Dalam buku “Politik Agama di Asia Selatan dan Asia Tenggara”, profesor politik Islam dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta Noorhaidi Hasan menulis anggota LPI sebagian adalah anak-anak muda masjid atau pesantren, tapi banyak juga dari kalangan muda pengangguran serta preman yang dijanjikan bayaran dalam setiap aksinya.
Jadi, siapa yang ingin dihadapi TNI saat melibatkan FPI atau LPI dalam bela negara? Apa pertimbangan TNI melatih FPI atau LPI?
Pendidikan bela negara memang wajib bagi setiap warga negara, walaupun tidak harus dengan pelatihan fisik. Namun akan keliru jika TNI justru melibatkan atau mengistimewakan ormas yang selama ini justru kerap melakukan kegiatan melawan hukum.