Ratusan Muslim Rohingya mencoba melarikan diri dari Myanmar menyusul serangkaian bentrokan dengan pasukan militer di Rakhine utara, Myanmar, pada akhir pekan lalu. Berdasarkan data dari militer Myanmar, bentrokan ini telah menewaskan 130 orang. Bentrokan ini merupakan yang terparah sejak aksi kekerasan sektarian oleh kelompok Buddha radikal terhadap warga Rohingya pada 2012 lalu, yang menewaskan 200 orang dan menyebabkan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Etnis Rohingya selama ini dilaporkan menghadapi diskriminasi dan kekerasan karena tidak dianggap sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah Myanmar menganggap etnis Rohingya merupakan imigran ilegal dari Bangladesh. Reuters melaporkan, sejumlah warga Rohingya langsung ditembak mati saat mereka mencoba menyebrangi Sungai Naaf, sungai yang memisahkan wilayah Myanmar dengan Bangladesh. Sementara itu, sebagian warga Rohingya lainnya yang berupaya mencapai perbatasan menggunakan perahu ditolak oleh penjaga perbatasan Bangladesh, sehingga mereka diperkirakan akan terombang-ambing di laut.
“Pada Selasa pagi, 86 warga Rohingya termasuk 40 wanita dan 25 anak-anak dicegat oleh penjaga perbatasan Bangladesh (BGB) di titik perbatasan Teknaf,” ucap Letnan Kolonel Anwarul Azim, komandan sektor Cox Bazar di Bangladesh Timur. “Seluruhnya berupaya masuk ke Bangladesh dengan menggunakan dua perahu. Tentara Bangladesh telah meningkatkan patroli dan pasukan untuk memastikan keamanan di perbatasan,” kata Anwarul menambahkan.
Empat etnis Rohingya yang dihubungi oleh Reuters membenarkan adanya upaya penembakan pada etnis Rohingya saat menyebrangi perbatasan untuk melarikan diri dari Myanmar. Menurut pemimpin komunitas Rohingya yang menolak identitasnya dipublikasikan, sekitar 72 etnis Rohingya tewas terbunuh di tepi Sungai Naaf. Ia mengatakan, militer Myanmar menembaki kerumunan etnis Rohingya yang berusaha kabur secara membabi-buta.
“Banyak mayat yang mengambang di laut,” ucap salah satu pria yang berasal dari Maungdaw. Ia menyebutkan sebagian kaum perempuan dan anak-anak Rohingya yang berasal dari 10 desa di sana berupaya menyebrangi perbatasan. Sebagian dari mereka terbunuh saat berusaha mencapai perahu.
Tentara Myanmar telah melakukan operasi pembersihan dengan memperketat pengawasan di utara Rakhine, wilayah yang berbatasan langsung dengan Bangladesh, sejak bentrokan pada 9 Oktober lalu. Bentrokan itu menewaskan sembilan polisi Myanmar dan melukai lima lainnya. Berdasarkan perhitungan Reuters, bentrokan ini telah menewaskan 102 terduga militan dan 32 polisi.
Dalam insiden itu, puluhan senjata dan lebih dari 10 ribu amunisi dicuri dari polisi perbatasan. Pihak berwenang Myanmar meyakini etnis Rohingya yang memantik bentrokan tersebut. Petugas kemanusiaan serta pihak berwenang Bangladesh memperkirakan sekitar 500 warga Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak bentrokan awal Oktober lalu itu. Kini, para pengungsi Rohingya untuk sementara terpaksa tinggal di empat kamp penampungan yang terletak di perbatasan Bangladesh.
Namun, pengamanan militer Myanmar yang ketat di wilayah itu juga menghambat pengiriman bantuan, seperti pasokan makanan dan obat-obatan. Sumber dari Reuters mengatakan, kecil kemungkinan kelompok Rohingya itu kembali ke desa-desa mereka di Myanmar. Penduduk dan para aktivis HAM menduga, pasukan keamanan Myanmar telah melakukan eksekusi, pemerkosaan, dan pembakaran rumah warga Rohingya. Dugaan ini diperkuat dengan citra satelit yang menunjukan kerusakan yang meluas di desa-desa yang dihuni etnis Rohingya, termasuk pembakaran sekitar 430 rumah warga.
Publik internasional telah menyarankan pemerintah Myanmar melakukan penyelidikan independen terkait konflik kemanusiaan yang mendera etnis Rohingya. Namun, alih-alih menyelesaikan insiden kemanusian ini, pemerintah malah memperingatkan warganya akan adanya dugaan “pengalihan persepsi publik” yang dilakukan oleh “kelompok militan yang berbasis di Rakhine.” “Kelompok militan memanfaatkan negara sebagai dasar untuk menyebabkan kerusuhan dan kekacauan demi mendapat perhatian internasional untuk menekan Myanmar,” ucap Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Myanmar Aye Aye Soe.
Menteri Urusan Perbatasan negara bagian Rakhine, Kolonel Htain Lin, menolak memberi komentar terkait situasi ini. Kepala Kepolisian Maungdaw, Mayor Kyaw Mya Win berkata, warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah mencoba menyerang anggota militer di sana. “Penduduk desa di Rakhine (yang sebagian besar merupakan etnis Rohingya) telah menjadi pemberontak, termasuk para penduduk perempuan di sana,” ucap Kyaw.
LOGIN untuk mengomentari.