in

Berbagai Modus Pencucian Uang

Makin Rapi Sembunyikan Uang, Makin Sulit Dijerat Pidana

Uang dan aset menjadi jalan untuk menemukan sebuah kejahatan ekonomi. Namun, ternyata ada banyak cara yang dirancang sedemikian rupa untuk menghilangkan jejak. Dari membeli tanah di pelosok, rekening pinjaman hingga kirim uang keluar negeri.

Pelaku kejahatan sudah mahfum bahwa uang hasil kejahatan yang nilainya fantastis bisa mengundang bahaya. Mau tidak mau, pelaku kejahatan harus melakukan pencucian uang. Seperti halnya, yang dilaporkan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman ke Bareskrim beberapa waktu lalu. 

Boyamin melaporkan adanya penegak hukum berinisial MIB yang menyembunyikan asetnya dengan nilai sekitar Rp 90 miliar. Aset itu berupa tanah yang dibeli daerah pelosok Tegal dan Brebes, Jawa Tengah. Aset tanah itu terbagi dalam enam titik. “Pembelian itu tidak diatasnamakan MIB, melainkan seorang makelar berinisial SUB,” tuturnya.

Ada tanah seluas 100 hektare di Kubangsari, Ketanggungan, Brebes dibeli pada 2013/2014. Lalu, ada tanah yang jumlahnya juga 100 hektare di kota yang sama.

Lalu, empat tanah terakhir berada di Tegal, dengan luas 3 ribu meter, 1.500 meter, 3,5 hektare dan rumah dengan lahan seluas 600 meter. “Semua itu dibeli SUB yang profil keuangannya sangat tidak tidak cocok dengan asetnya,” ungkapnya.

Upaya untuk mengetahui bagaimana modus pencucian uang dengan membeli tanah itu dilakukan, koran ini Jumat lalu (17/3) bertemu dengan sejumlah pihak yang mengetahui teknis pembelian tanah tersebut, di antaranya notaris dan salah satu makelar.

Salah satu makelar tanah yang tidak ingin disebut namanya, mengungkapkan inisial SUB itu bukan sembarang makelar, melainkan makelar tanah kelas kakap di Tegal dan Brebes. 

SUB ini awalnya makelar peliharaan dari seorang kepala daerah. Namun, karena terjadi konflik antara keduanya, akhirnya dia beralih. “Sekarang dia menjadi makelar untuk seorang penegak hukum itu,” tuturnya.

Dalam menyasar tanah, SUB ini dibantu oleh dua anak buahnya. Keduanya berinisial A dan C. Ketiganya itu secara bersamaan mencari informasi tanah yang dijual. “Salah satu yang ditemukan itu yang 100 hektare itu di Kubangsari, Brebes,” jelasnya.

Untuk kepentingan penegak hukum itu, SUB lalu membeli tanah 100 hektare itu. Untuk tiap meternya harganya sekitar Rp 20 ribu hingga Rp 40 ribu. Masyarakat menjual tanahnya secara bersama-sama karena lokasinya jauh dari tempat tinggal. “Lahan itu bekas perkebunan zaman penjajahan,” ujarnya.

Pembelian tanah itu dilakukan secara bertahap. Terkadang pada 20 orang dulu, Lalu, disusul 20 orang lainnya. Entah mengapa tidak langsung dibeli semua sekaligus. “Pembayarannya dilakukan secara tunai dengan mencairkan cek dari bank,” tuturnya. 

Hampir tidak pernah pembelian dilakukan dengan transfer antar bank. Dia mengatakan, pernah suatu kali dirinya melihat sendiri adanya tiga cek yang dipegang SUB tersebut.

“Kalau SUB menyebut, ini dari bos yang profesinya penegak hukum di Jakarta. Pernah juga suatu kali penegak hukum ini mengajak SUB dan dua makelar bertemu di Hotel Bahari Inn,” tuturnya.

Belakangan, ternyata diketahui di tanah yang dibeli SUB untuk penegak hukum itu akan dilewati jalan tol. Dengan begitu harganya akan meningkat drastis. Bahkan, ada perusahaan dari Korea yang ingin membeli tanah itu dengan harga Rp 100 ribu per meter.

“Mungkin mereka sudah mengetahui duluan kalau lokasi itu akan dipakai untuk jalan tol,” jelasnya.

Untuk enam tanah tersebut, semua sertifikat diatasnamakan SUB. Namun, sertifikat itu tidak dipegang oleh SUB, melainkan oleh penegak hukum tersebut. “Bisa dicek di Badan Pertanahan Nasional (BPN), enam tanah itu tercatat milik SUB,” paparnya.

Upaya pencucian uang lainnya juga terjadi dalam kasus penyeluncupan baby lobster. Seorang pegawai negeri sipil (PNS) memiliki rekening senilai Rp 195 miliar. Rekening yang digunakan untuk menyimpan uang yang begitu besar diduga diatasnamakan orang lain. 

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Eko Djalmo mengaku, praktik TPPU bakal tak terhindarkan selama masih ada celah bagi para pejabat dan pegawai negeri sipil (PNS) yang melakukan pungli. Untuk TPPU kasus baby lobster ini menyeret seorang PNS pemda. “Pemda mana tidak bisa disebut,” ujarnya.

PNS tersebut diakui punya rekening tak wajar senilai Rp 195 miliar. Rekening itu bisa jadi tidak hanya satu dan bahkan, rekening itu juga bisa atas nama orang lain. Seperti, pembantu atau saudaranya. Namun, Eko menegaskan bahwa uang sebanyak itu bukanlah hasil korupsi sekali saja. “Ini hasil berbagai korupsi selama karirnya,” tuturnya.

Menurutnya, itu adalah akumulasi dari bertahun-tahun praktik pungli. “Kasus-kasus tersebut sudah pasti bukan terjadi sekali dua kali saja. Baru beberapa tahun ini akhirnya didalami karena itu terlihat langsung besar aset mereka,” ungkapnya.

Dalam hal tersebut, lanjut dia, banyak skema yang bisa digunakan oleh PNS untuk mendapatkan pendapatan ilegal. Terutama, para-para pengawas di lapangan yang tak punya mental kuat. Mereka bisa saja pura-pura tak tahu untuk mendapatkan bagian dari praktik ilegal di industri maritim Indonesia.

“Bukan hanya ekspor ilegal, tapi pengawasan kapal juga seringkali jadi cara PNS untuk memperoleh uang haram. Terutama soal isu markdown kapal,” ujarnya.

Kasus markdown kapal penangkap ikan memang menjadi PR terbesar di tengah reformasi pengawasan industri maritim. Pasalnya, banyak kapal yang menyamar dalam kategori di bawah 100 gross tonnage (GT) yang dianggap sebagai kapal tak mampu.

“Kami sering menemukan kapal dengan berat 195 GT ditulis hanya 95 GT. Itu artinya, ada pengawas yang ikut main mata dengan mereka. Dan uang dari mereka sudah pasti banyak karena pemilik kapal berhasil menghindari pajak,” tegasnya.

Terkait modus pencucian uang sendiri, Eko mengaku bahwa cara mereka hampir sama dengan yang lain. Yakni, mencari tanah atau rumah sebagai investasi yang aman. 

Tidak hanya penegak hukum dan PNS, Sindikat narkotika juga berupaya melakukan pencucian uang untuk menyelamatkan hasil penjualan narkotika dan menutupi kegiatan jual beli barang haramnya. 

Direktur TPPU Badan Nasional Narkotika (BNN) Brigjen Rachmad Suwanto menuturkan, pencucian uang sindikat narkotika dilakukan dengan tujuan mengeluarkan uang dari Indonesia.

“Sebab, selama ada di Indonesia, mereka merasa ketakutan akan ketahuan. Sekali ketangkap, uang mereka bisa langsung di TPPU dan disita semua,” ujarnya.

Untuk mengeluarkan uang dari Indonesia, mereka menggunakan berbagai jenis perusahaan. Seperti, money changer, asuransi hingga pabrik. Perusahaan yang digunakan sindikat narkotika itu statusnya legal alias terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. “Dengan nama perusahaan itu, mereka menyamarkan hasil penjualan narkotika,” tuturnya.

Uang hasil narkotika itu disebutkan untuk pembayaran barang tertentu. Karena itu, dalam invoice atau faktur penjualannya dipalsukan. “Seakan-akan untuk membayar operasional, padahal hanya mengalihkan uang keluar negeri,” jelasnya.

Kendati jarang, sindikat narkotika masih juga melakukan upaya pencucian uang dengan membeli aset tanah. Bagi penyidik BNN, mengusut TPPU tanah sindikat narkotika itu lebih mudah. “Kalau uang di luar negeri itu sulit karena terbentur geografis dan aturan. Kalau masih di Indonesia lebih mudah,” paparnya.

Sementara Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin, mengatakan, pihaknya beberapa kali melakukan pendeteksian transaksi keuangan yang berkaitan kasus lobster.

Hasil analisa dari pendeteksian itu pun sudah dikirim ke Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) dan Bareskrim Mabes Polri. “Pernah ada hasil analisis proaktif PPATK terkait kasus lobster,” ujarnya kepada koran ini, kemarin (19/3).

Badar-sapaan Kiagus Ahmad Badaruddin- menjelaskan, pendeteksian itu umumnya didasarkan beberapa hal. Di antaranya, berdasar laporan yang dikirim pihak pelapor karena adanya transaksi keuangan yang mencurigakan, atas permintaan penyidik atau instansi lain, berdasar info masyarakat, sampai analisa berita media. “Atau juga bisa trigger lainnya,” ujarnya.

Menenai laporan aparat penegak hukum terlibat dalam kasus TPPU dengan modus jual beli tanah, Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto memastikan bahwa instansinya memproses setiap laporan. “Mulai dari tahap penyelidikan sampai tahap penyidikan,” jelas pria yang akrab dipanggil Ari itu.

Apabila mendapat cukup bukti dari hasil penyelidikan dan penyidikan, dia memastikan laporan tersebut ditindaklanjuti ke tahap berikutnya. Ari tidak membantah ketika ditanya potensi keterlibatan aparat penegak hukum dalam “permainan” jual beli tanah. Untuk itu, Polri berkomitmen kuat mengungkap potensi tersebut.

Jalan semakin terbuka pasca kerja sama antara Polri dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyebutkan, TPPU dengan modus jual beli tanah bisa saja terjadi. “Hasil kejatahan dipakai. Kemudian digunakan membeli tanah,” ungkap dia.

Namun demikian, Polri tidak bisa sembarangan mengambil langkah. Harus berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan. Jika mengarah TPPU, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menelusuri asal usul tanah tersebut. “Informasi tentang siapa pemilik tanah itu,” kata Tito.

Kerja sama antara Polri dengan BPN, sambung dia, sudah lama terjalin. Jauh sebelum instansinya menandatangai perjanjian dengan Kementerian ATR.
Selama ini kerja sama tersebut berlangsung baik. Tito memastikan, BPN selalu memberi bantuan kepada Polri.

“Pasti memberikan bantuan,” ucap dia tegas. Tidak ada alasan bagi kedua belah pihak untuk menutup ruang kerja sama. Mantan kepala Polda Metro Jaya itu tidak khawatir apabila membutuhkan informasi dari BPN. Sebab, mereka pasti membantu Polri.

Termasuk di antaranya yang berkaitan kebutuhan dalam penanganan kasus TPPU dengan modus jual beli tanah. “Sudah jalan, selama ini nggak masalah,” ujarnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Pil yang Bisa Membuat Orang Menjadi Pintar

‘Beauty and the Beast’ Raup Rp2,6 Triliun di Pekan Pertamai