Sejumlah pimpinan dan anggota Panitia Khusus pembahasan RUU Pemilu punya ide aneh. Mereka usul agar anggota KPU dipilih dari partai politik. Usulan itu oleh-oleh dari jalan-jalan mereka ke Jerman dengan biaya negara mencapai Rp15 miliar. Alasannya, anggota KPU di Jerman berasal dari partai politik.
Ini sudah pernah terjadi di Pemilu 1999, ketika KPU menjadi wadah orang-orang partisan, plus unsur pemerintah. Alhasil, kegiatan KPU kerap diwarnai polemik dan konflik kepentingan partai politik, hingga pembahasan dan rapat kerap berakhir deadlock alias buntu. Keputusan-keputusan KPU kerap diambil melalui voting dan walkout, karena beda kepentingan dan tersandera oleh tekanan partai. Ujungnya kita tahu, hasil pemilu 1999 diumumkan terlambat.
Karena itu aturan mengenai keanggotaan KPU berikutnya diubah menjadi independen dan nonpartisan. Dalam perjalanannya banyak anggota KPU terkena kasus hukum. Namun bukan berarti KPU yang nonpartisan itu keliru dan harus kembali menjadi partisan.
Anggota DPR semestinya sadar, wacana anggota KPU dari partai politik itu sangat tidak perlu dan sangat tidak penting. KPU adalah wasit dalam pertandingan pemilu. Karenanya wasit harus netral, tidak boleh diisi oleh pemain. Apalagi, konstitusi kita sudah menyatakan KPU bersifat mandiri – lepas dari kepentingan politik.
Sebaiknya DPR fokus mempercepat pembahasan RUU Pemilu. RUU ini musti segera rampung, agar tahapan Pemilu Serentak 2019 bisa segera memiliki landasan hukum dan segera dimulai. Jangan sampai berlambat-lambat membahas RUU Pemilu untuk mengurusi hal-hal yang justru adalah suatu kemunduran. Ini hanya akan menyandera tahapan persiapan Pemilu 2019.