Tahun ini, Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati setiap 31 Mei, seakan berlalu begitu saja. Boleh jadi karena momennya bertepatan dengan bulan puasa, hingga nyaris tidak ditemukan orang merokok dengan bebas di siang hari, yang lazim menjadi objek seruan berhenti merokok. Atau memang tak banyak yang peduli atau kurang berminat membahas masalah ini.
Dibahas atau tidak, pengguliran Hari Tanpa Tembakau Sedunia tentunya bukan sekadar slogan atau ajakan. Lebih dari itu, pesan lebih dalam yang tersirat adalah keinginan agar semua orang dapat menarik napas dalam-dalam. Napas itu harus menghirup udara segar dan bersih, bukan asap tembakau yang beracun.
Kita di sini memang fokus pada masalah hari tanpa tembakau, tidak menyinggung masalah lain yang kerap dikaitkan dengan bisnis rokok dari hulu ke hilir yang luar biasa besar dan menyerap banyak tenaga kerja itu. Bahwa, kita mengapresiasi ditetapkannya Hari Tanpa Tembakau Sedunia, yang bertujuan menarik perhatian dunia mengenai menyebarluasnya kebiasaan merokok dan dampak buruknya terhadap kesehatan. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), bahaya merokok cukup mencolok, karena bertanggung jawab atas tujuh juta kematian setiap tahun.
Di Indonesia sendiri, angka yang tercatat pada Kementerian Kesehatan cukup mencengangkan. Ternyata, jumlah perokok di tanah air saat ini lebih dari sepertiga atau 36,3 persen dari 258 juta total penduduk Indonesia. Tercatat, jumlah perokok sekarang mencapai 93.654.000 orang di Indonesia. Sebanyak 20 persen dari angka itu merupakan perokok remaja, usia 13-15 tahun.
Kini, setelah 30 tahun berlalu sejak pertama kali Hari Tanpa Tembakau Sedunia digulirkan, memang belum mampu menghentikan kebiasaan berbahaya itu. Namun itu bukan menjadi alasan untuk tidak menggemakannya, sebab dari sekian banyak masalah yang dihadapi dunia, tembakau adalah salah satu cara termudah untuk memperbaikinya.
Kita mendukung upaya yang telah dilakukan untuk mengingatkan bahaya merokok, terutama peringatan pada kemasannya. Kita berharap pemerintah tidak menyerah kendati masih punya masalah yang lebih mendesak ketimbang meyakinkan rakyatnya untuk berhenti merokok, walau banyak perokok yang menolak mendengarkannya. Kita ingin membantu mengingatkan bahwa merokok sebenarnya berada di bagian atas daftar penyebab penyakit yang dapat dicegah, terutama kanker paru-paru dan kondisi jantung.
Sayangnya, ketika pesan kanker digambarkan pada kemasan rokok dengan jelas, tetap ada saja yang seakan kebal terhadap semua peringatan. Meningkatnya kaum perokok di kalangan anak muda Indonesia seperti angka yang dirilis Departemen Kesehatan tadi, bahkan di seluruh dunia, hendaknya menjadi perhatian serius. Jangan biarkan mereka terlalu lama mengakhiri kebiasaan berbahaya ini, atau justru maut yang akan menghentikannya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.