Sebagai sebuah kawasan yang berada di jalur segitiga emas Aceh, Bireuen memiliki ragam potensi, yang bila mampu dikembangkan akan memberikan dampak positif bagi rakyat. Lalu bagaimana dari sudut pandang sejarah? Benarkah Bireuen hanya sebuah kampung kecil yang lahir saat Belanda mendarat? Sebuah batu nisan tinggalan era Daulah Shalihiyyah (Samudera Pasai), memberikan petunjuk lain.
Dikutip dari website sejarah Al Misykah–sebuah web yang mengangkat kajian sejarah Samudera Pasai– disebutkan nama Biruan sudah ditulis pada sebuah nisan kuno Yuhan Min yang berlokasi di Dusun Kommes (Komplek Mesjid) Gampong Meunasah Capa. Pada inskripsi makam yang seluruhnya beraksara Arab tersebut, ditulis bahwa Yuhan Min meninggal pada 844 hijriah, atau bertepatan dengan 1441 Masehi.
Pengaruh Samudera Pasai sangat kental dilihat dari bentuk nisan, khat tulisan yang mempunyai kesamaan mutlak dengan tinggalan sejarah di bekas kekuasaan Dinasti Shalihiyyah. Sang pemilik nisan, Yuhan Min, hidup semasa dengan Sultan Zainal’Abidin Ra-Ubabdar (wafat 841 H) dan puteranya, Sultan Al-‘Adil Ahmad (wafat 868 H). Keduanya merupakan sultan kuat dari zaman Samudera Pasai yang telah membuka kawasan yang luas bagi Islam di Asia Tenggara.
Selain itu, masih pada web tersebut disebutkan bahwa nama Bireuen juga pernah disebut dalam Kronik Pasai dengan kata Biruan. Pun demikan, sejauh ini masih sangat sedikit data yang bisa digunakan untuk menelusuri Bireuen di era lampau.
Merujuk pada inskripsi nisan Yuhan Min, usia Bireuen sudah mencapai 601 tahun bila dihitung dengan penanggalan hijriah. Serta 574 tahun bila diukur dengan masehi–dihitung sesuai tahun kematian Yuhan Min– Lalu bagaimana posisi Bireuen di masa lampau? Apakah sebuah entitas besar yang mampu menjadi kawasan penting bagi Samudera Pasai? Masih butuh penelusuran serius untuk menjawabnya. []