Keputusan polisi menangkap tiga anggota kelompok SARACEN memantik reaksi luar biasa dari masyarakat. Dari media sampai obrolan warung kopi, semua membicarakan soal sindikat penyebar materi SARA yang memuat kebohongan dan ujaran kebencian itu.
SARACEN disebut-sebut beroperasi dengan memanfaatkan internet dan media sosial sejak dua tahun lalu. Sebagian publik mengapresiasi langkah polisi, mengingat sudah cukup lama kita diguncang ujaran kebencian yang memecah belah masyarakat. Tapi ada juga yang menganggap tindakan polisi ini sebagai pembungkaman terhadap kelompok yang dianggap kritis pada pemerintah.
Yang jelas, terungkapnya sindikat SARACEN itu membuktikan kalau upaya memperdagangkan isu SARA itu nyata adanya. Tak sekadar sentimen negatif dari satu kelompok terhadap kelompok lainnya, tapi isu yang ‘digoreng’ demi puluhan sampai ratusan juta rupiah dari setiap klien.
Bisnis isu SARA sebetulnya sudah terasa sejak Pemilu 2014 sampai Pilkada tahun ini. Bisnis ini menghubungkan broker dan tengkulak dengan para pengguna: politisi. Merekalah yang diuntungkan, sementara publik tercerai berai.
Tahun depan, juga tahun berikutnya, adalah tahun politik di tanah air. Kita sudah melihat bagaimana dampak perbedaan politik bisa begitu meninggalkan luka mendalam. Semua harus lebih waspada, juga tak mudah terpancing isu yang rawan memecah belah masyarakat.
Langkah polisi juga tak boleh berhenti di situ saja – lanjutkan sampai membongkar siapa klien dari sindikat SARACEN itu. Mereka lah yang mendulang untung di atas perpecahan masyarakat. Tanpa tindak lanjut yang berarti, sindikat serupa bisa terus bermunculan. Dan Indonesia ada di ujung tanduk.