in

Bogem Pajak

R. Budijanto
Senior Editor Jawa Pos

”PAJAK dan Palak Itu Beda”. Judul tulisan seru itu terpacak di beranda situs resmi Ditjen Pajak (https://www.pajak.go.id/id/artikel/pajak-dan-palak-itu-beda). Isinya tentu menyangkal sindiran yang menyejajarkan pajak dan palak, dua kata yang huruf tengahnya (J dan L) hanya selisih tiga huruf dalam alfabet.

Tersirat ada kerisauan dalam tulisan anonim yang sudah 472 kali diklik sejak April 2022 itu. Definisi pajak dalam undang-undang memang bisa dipersepsi sebagai “palak oleh negara” karena juga main paksa dan tak bisa dihindari. Klop dengan sindiran umum: di dunia ini yang pasti hanya dua, yaitu mati dan pajak. Bahkan, ketika si mati dikubur pun, kain kafannya dipajaki.

Pengartian “pajak” menurut UU Perpajakan memang “seram”. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung, dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Definisi itu setidaknya menyebut lima elemen linier dari negara (subjek) ke rakyat (objek) yang tak bisa dibantah. Yakni, wajib (tak bisa ditolak), terutang (tiba-tiba punya utang pajak), memaksa (kalau tidak bayar bisa dipenjara), tidak mendapat imbalan secara langsung (jangan tanya dapat apa dari bayar pajak), serta digunakan untuk keperluan negara (kita tahu siapa mereka).

Di akhir definisi, wajib pajak dihibur dengan “bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Benarkah? Rumit menjelaskannya. Karena secara resmi tak ada imbalan langsung dari pajak. Yang jelas makmur duluan adalah rakyat yang berstatus pegawai pajak.

Dari daftar tunjangan kinerja (tukin) pegawai pajak yang beredar, ada 16 tingkat. Yang tertinggi Rp 117,4 juta, yang terendah Rp 21,6 juta. Ini tukin kasta tertinggi di antara para pegawai negeri. Kalau target tercapai, tukin maksimum mengalir ke kantong orang pajak itu. Itu belum terhitung gaji pokok mereka.

Daftar resmi tukin para debt collector –karena pajak dianggap debt alias utang– itu beredar karena viralnya insiden yang tak terkait perpajakan. Yakni, penghajaran putra pejabat eselon III Ditjen Pajak terhadap putra pimpinan Ansor.

Setelah peristiwa berdarah ini, beredar gambar si putra orang pajak itu gemar bergaya pakai mobil dan motor mewah. Anak polah bapak kepradah (tingkah anak berakibat pada bapak). Maka, terkoreklah harta bapaknya, Rp 56 miliar. Meski si bapak kini bergaji Rp 60 jutaan sebulan, harta itu dianggap kelewat jumbo.

Bogem “salah musuh” itu membuat berantakan. Nikmat harta membawa sengsara. Bikin orang koma, kena DO, dijauhi para bestie, resign, hingga penjara. Keributan antaranak muda itu juga membuka peti Pandora perpajakan di Kementerian Keuangan.

Menkeu Sri Mulyani, bos para pegawai pajak, kini meradang. Padahal, dia mestinya semringah karena target pajak tahun 2022 tercapai sampai tumpah-tumpah. Sukses menyedot Rp 2.034,5 triliun atau 114 persen dari target sebesar Rp 1.784 triliun. Mampu membiayai 66 persen belanja negara.

Situasi ceria itu terjadi sejak 2021. Meski rakyat dirundung pandemi, ternyata tercapai target pajak 107 persen, Rp 1.547,8 triliun. Dan mampu membiayai belanja negara hampir 57 persen. Jadi meski situasi susah, rakyat (yang pegawai pajak) tetap makmur.

Sri Mulyani makin muram karena ternyata 13 ribu (44 persen) pegawainya, mayoritas orang pajak, tidak lapor kekayaan (LHKPN) yang jadi perintah UU. Kontras nian. Kalau rakyat telat lapor harta lewat surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT), ancamannya macam-macam. Hingga denda 30 persen.

Pegawai yang sudah lapor LHKPN pun sepertinya ditumpuk begitu saja. Kalau tidak, mengapa baru sekarang harta Rp 56 miliar itu mulai diusut? Kalau anaknya tidak memukul orang, mungkin akan dibiarkan saja. Pertanyaan bisa berlanjut: berapa banyak di antara laporan kekayaan para aparat keuangan itu yang dibiarkan saja meski mencurigakan.

Kenapa tak belajar dari kasus Gayus Tambunan, yang waktu itu (2010) Sri Mulyani juga Menkeu? Betapa cepat. Apalagi nama pegawai pajak nakal ini dikenang sebagai julukan halte di depan kantor pusat pajak sebagai “halte Gayus”.

Setelah keributan bogem ini, viral sindiran para pejabat mem-brifing keluarganya agar tiarap. Mainan-mainan mewah dan mahalnya disimpan dulu. Mirip setelah para pembesar polisi kena tegur Jokowi soal gaya hedon. Di sisi lain, semestinya juga akan terjadi pelaporan kekayaan susulan besar-besaran ke KPK.

Mungkin bukan jumlah harta sesungguhnya yang dilaporkan karena belajar dari “kejujuran” laporan kekayaan Rp 56 miliar yang malah dicurigai itu. Repotnya, kalau ribuan laporan itu hanya formalitas tanpa verifikasi, bisa jadi ada bagian besar harta kekayaan mereka tetap tersembunyi. Seperti harta para tukang palak. (*)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Jabatan Kepsek Jangan Dipolitisir

Kototangah Bakal Gelar Kaderisasi Ansor-Banser, Peserta Ditarget 100 Orang