Audit Mobil Listrik BUMN
Kejaksaan Agung (Kejagung) ternyata belum memegang audit kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam perkara pembuatan prototipe mobil listrik yang dilakukan tiga perusahaan BUMN. Hal tersebut memperkuat indikasi bahwa penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka tidak sah.
Juru Bicara BPK Yudi Rahman menegaskan, sampai kemarin (27/2) pihaknya belum menerima permintaan audit investigasi dari kejaksaan terkait mobil listrik BUMN.
”Yang kami tangani saat ini permintaan perhitungan kerugian negara atas pengadaan mobil listrik di Kementerian Riset dan Teknologi,” kata Yudi saat dihubungi kemarin.
Pernyataan Yudi itu mematahkan klaim Jaksa Agung M. Prasetyo selama ini. Sebelumnya, kepada sejumlah media, Prasetyo mengaku telah mengantongi audit investigasi dari BPK terkait penanganan kasus mobil listrik dengan tersangka Dahlan Iskan.
Permintaan audit BPK tentu tidak bisa ujuk-ujuk jadi. Apalagi, yang dibutuhkan kejaksaan adalah audit investigasi. Audit investigasi biasa membutuhkan waktu lebih lama. Sebab, menurut Yudi, audit investigasi butuh kecukupan bukti, pendalaman, dan komunikasi dengan penegak hukum.
”Jadi, waktunya tidak bisa dipastikan,” katanya. Pakar hukum administrasi asal Universitas Gadjah Mada Richo Andi Wibowo menuturkan, BPK harus berhati-hati dan cermat dalam melakukan audit tentang pembuatan mobil listrik.
Sebab, auditnya tidak bisa disamakan dengan audit pengadaan biasa. Apalagi, pembuatan prototipe mobil listrik berasal dari dana sponsorship perusahaan BUMN.
”Memang soal ini (audit perusahaan BUMN, red) masih sering menjadi perdebatan. Namun, merujuk putusan MK, audit BPK harus menghormati business judgment rule,” ungkap pria yang beberapa kali menulis jurnal pengadaan itu.
Putusan MK yang dimaksud Richo adalah No 62/PUU-IX/2013. Putusan tersebut berkaitan dengan pengujian UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 15/2006 tentang BPK. Dalam pertimbangan putusan itu, MK menegaskan, audit keuangan pada BUMN tidak boleh disamakan dengan instansi pemerintah.
Richo menegaskan, dengan adanya putusan tersebut, penegak hukum seharusnya mengawasi keuangan negara di BUMN atau BUMD dengan paradigma usaha atau business judgment rules.
Tidak lagi berdasar paradigma pengelolaan kekayaan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan atau government judgment rules. Artinya, jika terjadi kerugian dalam BUMN dan BUMD, penanganannya tidak bisa disamakan dengan yang terjadi di instansi pemerintahan.
Yang disampaikan kandidat doktor dari School of Law, Utrecht University, itu memang terdapat dalam putusan MK No 62 di halaman 233.
Dalam putusan tersebut, hakim Harjono yang melakukan dissenting opinion menyatakan bahwa keuangan BUMN terpisah dengan keuangan negara dan harus tunduk pada hukum privat. Harjono mengungkapkan, BPK tetap berwenang mengaudit BUMN, tapi harus tunduk dengan style hukum privat.
Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra, pengacara Dahlan Iskan, meyakini sejak awal Kejagung belum mengantongi audit BPK. Karena itu, pihaknya menempuh praperadilan atas penetapan tersangka Dahlan Iskan. Penetapan tersangka tersebut dinilai tidak sah menurut hukum.
”Pak Dahlan itu ditetapkan sebagai tersangka atas dasar putusan perkara Pak Dasep Ahmadi yang auditnya dilakukan BPKP,” kata Yusril di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin.
Dasep adalah pemilik PT Sarimas Ahmadi Pratama. Bekerja sama dengan tiga perusahaan BUMN, dia membuat prototipe mobil listrik untuk keperluan promosi di APEC 2013.
Salinan putusan Dasep pun sebenarnya belum diterima Kejagung. Mahkamah Agung (MA) baru mengeluarkan petikan putusan, bukan salinan putusan. Padahal, sesuai pasal 270 KUHAP, Kejaksaan Agung hanya bisa mengeksekusi sebuah putusan setelah adanya salinan yang didapat secara resmi dari MA.
Bukan atas dasar petikan putusan. Dengan begitu, tindakan Kejagung menetapkan Dahlan Iskan sebagai tersangka hanya dari petikan putusan bisa dinilai inkonstitusional.
Yusril menjelaskan, putusan Dasep tidak bisa diterapkan begitu saja kepada Dahlan Iskan. Sebab, telah terjadi pembaruan hukum yang sangat fundamental terkait tindak pidana korupsi.
Pertama, keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 25/PUU-XIV/2016 tentang pengujian pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor. Dalam putusan tersebut, MK telah menganulir frasa ”dapat” untuk pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor.
Sebagaimana diketahui, dalam dua pasal itu terdapat kata ”dapat” yang berada pada kalimat ”dapat merugikan keuangan negara”. Kata ”dapat” itulah yang dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
LOGIN untuk mengomentari.