Presiden Joko Widodo meminta masyarakat Papua dan Papua Barat memaafkan warga dan aparat yang melakukan kekerasan dan diduga rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Ia berjanji bakal bersikap adil, serta tetap menjaga kehormatan dan kesejahteraan warga di sana.
Presiden mungkin lupa, penangkapan disertai kekerasan, dan tindakan rasisme, bukan pemantik tunggal sejumlah aksi kerusuhan di Manokwari, Sorong, dan Fakfak. Ada banyak kasus yang dialami warga Papua, sejak puluhan tahun silam.
Tengok saja semasa lebih 30 tahun Orde Baru, berbagai pelanggaran HAM terjadi di Papua, dengan impunitas yang sempurna. Mulai pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual, baik terhadap gerakan bersenjata maupun aksi damai. Tak ada angka pasti jumlah korban saat masa itu, namun Komnas HAM memperkirakan sekira 10 ribu orang.
Setelah Orde Baru tumbang, kekerasan tak berhenti. Catatan Amnesty International, sejak Januari 2010 hingga Februari 2018, terdapat hampir 70 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan pasukan keamanan di Papua. 34 di antaranya diduga oleh kepolisian, dan 23 kasus diduga oleh militer. Belum lagi kekayaan alam yang dikeruk, sementara masyarakat Papua masih bergulat dengan kemiskinan dan keterbelakangan.
Kita tak menafikan, upaya pemerintah saat ini yang berupaya membangun ketertinggalan di tanah Papua. Tapi, Pak Jokowi, bukan itu semata yang dibutuhkan Pace, Mace dan Mama-mama Papua. Lebih dari itu! Yakni pemenuhan hak asasi mendasar mereka sebagai manusia. Bukankah itu sesuai dengan jargon yang belakangan santer dikampanyekan: SDM Unggul, Indonesia Maju!?
Bagaimana caranya membangun SDM Unggul jika masih ada penindasan dan perbedaan perlakuan? Ayo Jakarta, duduk dan diskusilah dengan Jayapura. Jangan malah menambah pasukan ke sana. Tak ada perdamaian diraih dengan gagang senjata!