Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Payakumbuh, Buya H. Mustafa, SAg, MA, ternyata pernah menjadi garin Mushala dan guru mengaji di Taman Pendidikan Al-Quran. Kini, dipercaya sebagai Kasubag Tata Usaha Kantor Kementerian Agama Payakumbuh.
“Dulu, semasa kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang, saya pernah menjadi garin. Sekaligus tinggal di Mushala Teladan, Ampang Karang, Gantiang, Kota Padang, selama empat tahun,” kata Haji Mustafa kepada Padang Ekspres, Rabu (12/4).
Putra Luak Limopuluah kelahiran 5 Februari 1974 ini, terbilang pendakwah yang bersahaja dan rendah hati. Bahkan, Haji Mustafa sempat menolak secara halus, permintaan Padang Ekspres agar sosok, pengalaman, dan gagasannya terhadap dunia dakwah dimuat di rubrik “Buya Kito” ini.
“Kalau masih ada ulama-ulama, buya-buya, dai-dai, dan pendakwah kita yang lebih senior, mungkin bagusnya, profil beliau-beliau itu yang dimuat duluan di Padang Ekspres. Saya, biarlah belakangan saja,” kata Haji Mustafa.
Setelah diyakinkan Padang Ekspres berkali-kali, alumni MTI Koto Panjang Lamposi dan IAIN Imam Bonjol Padang ini, akhirnya mau juga berbagi pengalaman dakwahnya. “Yang paling berkesan bagi saya dalam dakwah adalah saat tinggal di Mushala selama empat tahun. Kuliah sambil menjadi garin,” ujarnya.
Selain menjadi garin, Mustafa semasa kuliah juga menjadi guru Taman Pendidikan Al Quran (TPA). “Saya juga sebagai guru TPA dan berdakwah ke masjid dan mushala dengan naik angkot atau memakai sepeda yang dipinjam ke jamaah Mushala Teladan, tempat saya tinggal dan menjadi garin,” kenang Haji Mustafa.
Pengalaman dakwah semasa muda dan kuliah itu, ternyata berbuah manis bagi Haji Mustafa. Begitu tamat kuliah, dia masuk tes CPNS tahun 1998.
“Alhamadulillaah lulus dan diangkat CPNS 1 Maret 1999. Di tempatkan di MAN 3 Payakumbuh sampai 2010. Dan mulai 2011 Sampai sekarang bekerja di Kantor Kemenag Payakumbuh sebagai Kasi Mapenda, Penmad dan saat ini sebagai Kasubag TU,” ujarnya.
Di luar kesibukan sebagai pejabat Kantor Kemenag, Haji Mustafa juga dipercaya sebagai Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Payakumbuh. Bersama para pengurus, ia bertekad mewujudkan NU Payakumbuh sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah Ahlisunnah Wal jama’ah, menuju masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, demokratis dan mandiri.
Untuk mewujudkan visi tersebut, menurut Haji Mustafa, PCNU Payakumbuh sudah menyusun tiga misi. Pertama, menggerakan kepemimpinan dan kelembagaan yang efektif dan dinamis. Sehingga mampu mengawal umat dalam melaksanakan dan mempertahankan aqidah Islam Ahlisunnah Wal jama’ah.
“Sedangkan misi kedua PCNU Payakumbuh adalah melaksanakan dakwah Islamiyah Ahlussunah wal jama’ah. Dan misi ketiga, memberdayakan lembaga pendidikan dan pesantren, untuk meningkatkan kualitas SDM yang menguasai IPTEK serta berakhlak mulia,” kata Haji Mustafa.
Pada bulan puasa Ramadhan tahun ini, PCNU Payakumbuh berharap umat Islam memanfaatkan bulan penuh maghfirah ini, untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah. Baik ibadah mahdhan, maupun Ibadah sunnah.
“Kemudian, dalam menghadapi berbagai tantangan, kita berharap ummat Islam memperkuat Aqidah Islamiyah Ahlussunah wal jama’ah. Selain itu, umat Islam harus memahami konsep Islam tentang IPTEK, ekonomi, politik, sosial budaya, dan pendidikan,” kata Haji Mustafa.
Berbicara tentang tantangan dakwah hari ini di Payakumbuh dan Limapuluh Kota, Haji Mustafa meyebut, tantangan dakwah beraneka ragam bentuknya. Jika selama ini kita hanya mengenal dalam bentuk klasik, penolakan, cibiran, cacian, bahkan teror. Kini ada tantangan baru dalam dakwah.
“Berdakwah di era sekarang ini bukanlah hal yang mudah, namun tidak juga sulit. Seorang Da’i dituntut untuk peka terhadap lingkungan dan inovatif terhadap cara ia menghadapi zaman yang cepat sekali berubah. Karena pada hakekatnya dakwah itu berarti mengajak. Sehingga ia harus mengerti kondisi seseorang yang diajak,” ujar Haji Mustafa.
Dia menyebut, bila diamati lebih luas lagi, dakwah Islam di era digital ini memiliki tantangan dan kendala yang semakin kompleks.
“Hal itu terjadi karena realitas sosial yang ada sekarang semakin beragam. Dengan itu, kesenjangan di masyarakat tidak lagi bisa dihindarkan. Ironinya hal tersebut telah menjadi sekat-sekat sosio-kultural bangsa dan mengaburkan batas-batas yang sebelumnya sudah ada,” pungkas Haji Mustafa. (Fajar Rillah Vesky)