in

Buya Safrijon Azwar MA, Dulu Ketua MUI Kini Ketua IPHI

Buya Safrijon Azwar MA.(IST)

Buya Safrijon Azwar MA, pernah menjadi Ketua MUI Kabupaten Limapuluh Kota. Kini, dipercaya sebagai Ketua IPHI dan Sekum FKUB di daerah yang sama. Pengalaman dakwah paling mengesankan baginya adalah saat diminta jemaah mengaji sampai subuh. Kini, Buya Safrijon melihat, banyak tantangan dakwah di Luak Limopuluah. Apa saja?

RAMAH dan hangat. Begitulah sosok Buya Safrijon Azwar. Meski kami sudah lama tidak berkomunikasi, tapi Buya Safrijon, tetap familiar saat saat dihubungi Padang Ekspres Jumat malam (24/3).

“Ba’a kaba Dinda? Lai sehat-sehat sajo? (Apa kabar Dinda? Adakah sehat-sehat saja),” kata Buya Safrijon, selepas memberi tausiyah pada salah satu masjid di Kecamatan Guguak, Kabupaten Limapuluh Kota.

Buya Safrijon asli putra Kabupaten Limapuluh Kota. Dia lahir di Kampungbaru, Bukitbarisan, 22 September 1972. Ayahnya, Azwar, dan ibunya Rasidah. Kini, Buya Safrijon dan istrinya Zakiah, serta lima anak mereka, menetap di kawasan Padangkaduduak, Kota Payakumbuh.

Buya Safrijon sejatinya adalah pejabat di Kantor Kemenag Limapuluh Kota. Saat ini, menjabat Kasi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. Tapi, masyarakat Luak Limopuluah (Payakumbuh dan Limapuluh Kota), lebih mengenalnya sebagai ulama dan pegiat dakwah.

Maklum saja, Buya Safrijon Azwar pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Limapuluh Kota periode 2018-2021. Setelah itu, Buya Safrijon dipercaya sebagai Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dan Sekum Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Limapuluh Kota.

Selama menjalankan aktivitas dakwah di Luak Limopuluah, negeri yang hilia badatuak, mudiak badatuak, urang pangulu kasodonyo itu, Buya Safrijon punya banyak pengalaman tak terlupakan. Yang paling mengesankan baginya adalah saat pengurus MUI Limapuluh Kota 2018-2021, membentuk tim dakwah ke kampung-kampung pinggiran.

“Saya bersama tim dakwah MUI, pernah mendatangi kampung-kampung pinggiran. Seperti, Maek dan Manggunaitinggi. Ternyata, masyarakat, memang mengharapkan kehadiran pendakwah. Saking butuhnya, saat kami datang, kami diminta mengaji sampai subuh. Untung saja, saat itu, kami ada dua sampai tiga orang. Sehingga bisa gantian,” ujar Buya Safrijon Azwar.

Buya Safrijon yakin, daerah-daerah pinggiran di Limapuluh Kota, masih merindukan kehadiran pendakwah dari MUI. “Harapan kita, daerah-daerah pinggiran ini, dapat terjamaah. Kini, di Limapuluh Kota, hampir seluruh nagari sudah punya MUNA (Majelis Ulama Nagari). Peran MUNA inilah yang kita harapkan. Karena akan lebih efektif,” ujarnya.

Menurut Buya Safrijon, aktivitas dakwah di daerah pinggiran Limapuluh Kota, memang harus terus digerakkan. Karena tantangan dan dinamika yang dihadapi ummat, semakin hari, semakin berat.

“Misalnya saja di bidang ekonomi. Di kampung-kampung, kini ada kemudahan yang diberikan ‘bank-bank berjalan’ atau tukang kredit kepada masyarakat. Secara syariat, sudah pasti ini menyalahi. Ada unsur riba di sana. Secara sosial, juga bisa merusak tatanan. Namun, masyarakat kita juga membutuhkan uang,” ujar Buya Safrijon Azwar.

Dalam kontes ini, menurut Buya Safrijon Azwar, dibutuhkan sekali peran MUNA dan lembaga masyarakat. Juga peran pemerintah, mulai dari nagari sampai kabupaten. “Harus ada solusi dakwah ekonomi. Artinya, ketika masyarakat terkendala konomi, ada dukungan ekonomi yang diberikan sesuai dengan syariat,” ujar Buya Safrijon.

Selain tantangan bidang ekonomi itu, menurut Buya Safrijon, tantangan dakwah di Luak Limopuluah saat ini adalah perilaku anak-anak muda yang mengkhawatirkan. “Tak mungkin anak-anak muda itu kita larang berteknologi. Tapi, mereka harus kita beri pencerdasan. Bahwa kemajuan teknologi, jangan merusak jati diri orang Minang. Pencerdasan ini, tak cukup lewat lembaga pendidikan saja. Tapi butuh peran semua unsur,” ujar Buya Safrijon.

Menurut Buya Safrijon, semua unsur di nagari, harus bahu membahu membentengi generasi muda dari ancaman kemajuan teknologi. Selain itu, semua unsur di nagari, juga perlu mengawal nagari masing-masing dari penguasaan lahan dari orang-orang yang dikhawatirkan bisa bermasalah secara sosial.

“Jangan sembarang menyerahkan lahan-lahan di nagari. Karena di Minangkabau itu, sedapat mungkin, kalau pun harus menjual tanah, kalau tidak ada nan sapaga, jual kepada yang sakampuang atau sasuku. Jangan sampai, tanah kita dijual kepada orang yang adat dan budayanya berbeda. Karena bisa memicu masalah sosial kemudian hari,” kata Buya Safrijon.

Menurutnya, persoalan terkait penguasaan lahan ini, sudah timbul di beberapadi beberapa nagari. Persoalan ini, tidak bisa diatasi dengan pendekatan keagamaan. Tapi, juga perlu pendekatan adat. “Harus ada pandangan komunikasi yang sama. Sehingga kemudian, hal-hal yang bisa memicu persoalan sosial ini, dapat ditanggulangi,” ujar Buya Safrijon Azwar.

Di penghujung obrolannya dengan Padang Ekspres, Buya Safrijon Azwar, berbagi pengalamannya dalam berorganisasi. Terutama, dalam mengurus MUI. Menurut Buya Safrijon, selama ini, ulama di Limapuluh Kota, sudah banyak melakukan dakwah kultural: ceramah, wirid, dan penyuluhan. Akan tetapi, dakwah kultural itu belum cukup.

“Tanpa dukungan dakwah struktural dari pengambil kebijakan, pesan kita hanya sekedar diterima. Kadang tidak mempengaruhi masyarakat. Tapi kalau ada kebijakan struktural, itu akan cepat sampainya. Seperti, kalau ada kebijakan pemda soal soal rumah tahfidz. Akan sejalan, dengan dakwah ulama. Karena itu, program seperti rumah tahfidz, harus didukung dan dikomunikasikan. Sehingga menjadi milik bersama,” ulas Buya Safrijon Azwar. (Fajar Rillah Vesky)

What do you think?

Written by Julliana Elora

UPT SMA Negeri 2 Tanjungbaru: Giatkan Coaching, Bangun Karakter Siswa

Anggaran DPRD Terancam Dipangkas