Apa pun bentuk intervensi Presiden dalam pemilihan rektor merupakan satu langkah yang berlebihan.
JAKARTA – Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) meminta pemerintah mencari solusi yang lebih substansial untuk mengantisipasi berkembangnya paham radikalisme di perguruan tinggi. Campur tangan Presiden dalam pemilihan rektor dinilai berlebihan dan tidak substantif. Ketua MRPTNI, Herry Suhardiyanto, meminta pemerintah untuk lebih bijaksana dalam mengantisipasi potensi berkembangnya radikalisme di perguruan tingggi.
“Persoalanpersoalan sebaiknya dicarikan yang solusi lebih substansial daripada prosedural,” kata Herry di Jakarta, akhir pekan lalu. Seperti diberitakan sebelumnya, Kamis (1/6), Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menyampaikan bahwa ada wacana bahwa pemilihan rektor di perguruan tinggi akan turut ditentukan oleh Presiden.
Kekhawatiran adanya ideologi selain Pancasila yang menyusup dalam perguruan tinggi turut melatarbelakangi munculnya wacana tersebut. Namun, sehari kemudian, Jumat (2/6), Tjahjo meralat pernyataan tersebut. Ia mengatakan bahwa apa yang dimaksud adalah sebatas bersifat konsultasi antara Menristekdikti dengan Presiden dalam pilrek.
Selama ini, suara Menristekdikti dalam pemilihan rektor perguruan tinggi negeri (PTN) di tahap terakhir (ketika calon rektor tersisa tiga orang) adalah sebesar 35 persen. Ia masih dapat memaklumi jika saat menggunakan hak 35 persennya tersebut Menristekdikti berkonsultasi dengan Presiden dalam kondisi tertentu. “Mungkin dalam kondisi tertentu Menristekdikti memang perlu berkonsultasi dengan Presiden, tetapi konsultasi seperti itu saya kira tidak perlu untuk semua pemilihan rektor PTN,” kata Herry.
Terlebih lagi, lanjutnya, jika ikut campur tangannya Presiden sampai harus dibakukan dalam sebuah aturan atau kebijakan maka justru akan menimbulkan kesulitan baru. “Kalau dibuat aturan malah akan ada kesulitan memilah pada kondisi apa perlu berkonsultasi dan pada kondisi apa tidak perlu berkonsultasi,” jelas dia. Pengaturan seperti itu, kata Herry, berpotensi menimbulkan kerepotan dan beban baru yang tidak perlu. “Ini akan merepotkan Presiden dan Menristekdikti dengan beban yang tidak perlu,” tegasnya.
Sebagai bangsa, menurut Herry, seyogianya seluruh pemangku kepentingan dapat lebih fokus pada persoalan lain yang lebih penting. Persoalan yang lebih berorientasi pada substansi, output, dan outcomes suatu kebijakan dari pada prosedur. “Kalau kita bicara mengenai situasi nasional terakhir sebaiknya kita dalami apa substansi persoalannya, apa akar masalahnya, baru kita rumuskan solusi yang efektif,” papar Herry.
Herry berharap para Menteri mengutamakan koordinasi walaupun dalam keadaan sangat sibuk untuk menghindari adanya miskomunikasi seperti saat melempar wacana pilrek dipilih oleh Presiden kemarin. “Kalau memang perlu diperbaiki, ya diperbaiki dulu baru dilaksanakan, dan yang penting fokuslah pada substansi yang memecahkan akar persoalan,” jelasnya.
Perketat Seleksi
Sementara itu, mantan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia, Edy Suwandi Hamid, menilai apa pun bentuk intervensi Presiden dalam pemilihan rektor merupakan satu langkah yang berlebihan. “Mekanisme yang ada sekarang dengan Menristekdikti sebanyak 35 persen dalam pilrek saja sebenarnya sudah berlebihan,” tandasnya. Menurutnya, jika memang ada kekhawatiran adanya calon rektor yang menganut paham radikal, seharusnya cukup diantisipasi dengan memperketat sistem seleksi kandidat rektor.
“Harusnya sistem screening yang ada sekarang saja diperketat,” tegas Edy. Ia juga menyayangkan wacana tersebut jutsru disampaikan oleh menteri yang tidak berkaitan dengan bidang pendidikan tinggi. Terlebih lagi pernyataan tersebut kemudian dicabut kembali. “Seharusnya sebelum mengeluarkan kebijakan, koordinasi dulu dengan kementerian teknis. Lucu sekali kebijakan ini muncul dari Mendagri, masih masuk akal jika Mensesneg. Ini kan bukan kewenangan Mendagri,” sesalnya. cit/E-3