Setiap Malam jadi ”Rektor” Keliling Kota
Di rumah sederhana di Jalan Sumbawa 20, Blora, Jawa Tengah, Pramoedya Ananta Toer menjalani masa kecilnya. Di rumah itu pula energi menulisnya berkobar. Sang adik, Soesilo Toer, pun berusaha untuk terus menghidupkan rumah masa kecil Pram tersebut.
Jarum jam baru menunjuk pukul 21.00 lewat sedikit. Namun, Kota Blora tampak sudah tidur. Jalanan lengang. Tak banyak lagi kendaraan yang lalu-lalang di jalan-jalan. Pemilik toko sudah menutup gerai mereka. Tinggal warung-warung kopi di sudut-sudut kota yang masih buka.
Begitu pula rumah-rumah penduduk kota kecil itu. Sudah banyak yang menutup pintunya. Seolah mengisyaratkan bahwa si empunya rumah telah bersiap untuk beristirahat.
Nah, ketika Blora sudah “terlelap” itulah, seorang warganya justru sedang memulai aktivitas. Menunggang sepeda motor sendirian, dia keluar dari rumahnya di Jalan Sumbawa 20.
”Itulah saatnya saya menjalankan tugas sebagai ’rektor’,” kata Soesilo Toer, orang yang mengaku sebagai “rektor” tersebut ketika ditemui di rumahnya, Kamis (22/12).
Namun, rektor yang dimaksud adik sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer itu bukan pemimpin perguruan tinggi. Rektor yang dimaksud adalah singkatan “ngorek-ngorek kotoran” alias menjadi pemulung sampah.
Ya, tugas sehari-hari Soesilo saat tengah malam adalah mengorek-ngorek sampah di tempat-tempat pembuangan sampah. Mulai tempat pembuangan sampah di rumah-rumah makan, perkantoran, serta rumah pribadi. Dia mencari sampah yang sekiranya masih bisa dimanfaatkan atau dijual kembali.
“Jadi, status ’rektor’ yang saya sandang ini ya pemulung sampah,” ungkap pria kelahiran 17 Februari 1937 itu. “Kemarin (Kamis, 29/12), saya baru mendapatkan dua pisau kue. Sebelumnya saya dapat asbak dan timbangan,” tambahnya, lantas tertawa.
Soesilo menceritakan profesinya itu tanpa tedeng aling-aling. Dia tidak merasa malu sama sekali. Bahkan, dia tampak bangga atas apa yang dia lakukan selama ini.
Padahal, ditilik dari status pendidikannya, lelaki kelahiran Blora itu bukanlah sosok yang tak mengenal sekolah. Bahkan, dia bergelar doktor (asli) dari Plekhanov Russian University of Economics, Uni Soviet (kini Rusia). Sebelum itu, Soesilo memperoleh gelar magister dari Universitas Persahabatan Rakyat Patrice Lumumba, di negara yang sama.
Selain itu, seperti halnya kakaknya, Soesilo dikenal sebagai penulis. Hanya, karyanya tidak sehebat milik Pram. “Kenapa harus malu? Sejak dulu saya memang senang ngorek-ngorek kotoran. Apalagi, ini juga untuk hidup,” tegasnya.
Hidup yang dimaksud Soesilo bukan semata untuk makan sehari-hari dirinya bersama istri, Suratiyem, dan anak semata wayang mereka, Benee Santoso.
Namun, hidup yang dimaksud Soesilo berkaitan dengan upayanya menghidupkan rumah masa kecil Pramoedya. Rumah di Jalan Sumbawa 20, Jetis, Blora, yang kini ditempati keluarga Soesilo. Sebab, rumah tersebut menyimpan banyak sejarah dan kenangan bagi keluarga besar Toer.
Di rumah sederhana itulah energi menulis keluarga Toer menyala dan tak pernah padam hingga kini. Karena itulah, Soesilo bersama dua kakaknya yang sudah almarhum, Pramoedya dan Koesalah Soebagyo Toer, menggagas pendirian perpustakaan di rumah tersebut.
Perpustakaan yang diberi nama PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa) itu diresmikan tepat pada hari meninggalnya Pramoedya, 30 April 2006. Perpustakaan itu menempati ruangan 5 x 4 meter, di bagian samping rumah utama.
Dulu ruangan tersebut merupakan dapur keluarga Toer. Koleksi perpustakaan tersebut kini lebih dari 5.000 judul buku.
Lantaran dua kakaknya sudah meninggal, Soesilo punya tanggung jawab moral untuk terus bisa menghidupkan Perpustakaan PATABA. Soesilo hanya dibantu Ben, anak tunggalnya.
Sejak beroperasi, perpustakaan itu telah banyak dimanfaatkan mahasiswa dan peneliti yang ingin melakukan riset, terutama tentang karya-karya Pramoedya. Sebab, perpustakaan tersebut menyimpan hampir seluruh karya Pram. Juga buku-buku koleksinya yang berjibun.
Karena itu, Soesilo menegaskan akan melakukan apa saja agar bisa menjaga dan melestarikan rumah masa kecil Pram serta Perpustakaan PATABA.
Dia ingin menjaga mimpi yang telah digelorakannya bersama Pram dan Koesalah. Mimpi tentang masyarakat Indonesia yang gemar membaca menuju masyarakat Indonesia yang gemar menulis.
“Selain menjadi pemulung, saya juga memelihara kambing dan ayam untuk menambah penghasilan keluarga,” ungkapnya. Dia juga menanam pohon jati di pekarangan rumahnya yang cukup luas serta terus menulis dan menerbitkan buku di bawah bendera PATABA Press.
Pertengahan tahun ini, saat usianya menginjak 79 tahun, Soesilo menyelesaikan proyek buku pentalogi Pram. Yakni, buku Pram dari Dalam, Pram dalam Kelambu, Pram dalam Bubu, Pram dalam Belenggu, dan Pram dalam Tungku.
“Satu yang saya jaga, yakni semangat agar bisa melakukan apa saja sehingga PATABA bisa terus hidup dan membawa manfaat bagi masyarakat,” tegasnya.
Semangat yang menyala itu pun disebut Soesilo didapatkan dari setiap pengunjung PATABA. Karena itu, dalam kondisi apa pun, Soesilo selalu menyapa dan menemui pengunjung yang datang ke PATABA.
Tidak cukup di situ, kepada setiap pengunjung, dia selalu bercerita panjang lebar tentang Pram, tentang dirinya, tentang keluarganya, dan kehidupan bernegara. “Dengan ngobrol dengan Anda seperti ini, sama artinya memperpanjang usia saya seminggu,” katanya, lantas tertawa.
Soesilo mendokumentasikan semua tamunya. Dia selalu menyodorkan buku tamu kepada pengunjung. “Ini sudah buku tamu yang kesepuluh. Yang datang ke sini sudah dari empat benua. Hanya tamu dari Afrika yang belum ada,” terangnya.
Beberapa nama ternama pernah berkunjung ke PATABA. Di antaranya, sastrawan Ajip Rosidi, Sindhunata, dan pelukis Djoko Pekik. “Kami senang kalau ada yang datang. Itu berarti budaya membaca akan terus hidup di negeri ini,” tandasnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.