Pesawat Delayed, Malah Bisa Mampir ke Beirut
Maroko kini banyak dikunjungi wisatawan asing. Pemandangan alamnya yang indah, budayanya yang eksotis, dan kulinernya yang unik menjadi daya tarik.
Berikut catatan perjalanan Agus Mustofa, penulis buku serial tasawuf modern dan mantan wartawan Jawa Pos (grup Padang Ekspres), di negara Afrika Utara itu.
Seusai melaksanakan rangkaian ibadah umrah di Tanah Suci, 24 Januari–2 Februari 2017, saya memisahkan diri dari rombongan jamaah Indonesia. Saya bersama istri dan 16 jamaah lainnya melanjutkan perjalanan ke Kerajaan Maroko.
Sedangkan 44 jamaah umrah lainnya kembali ke tanah air. Ada yang pulang ke Jakarta, ada yang ke Surabaya. Kami berpisah di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah.
Kami terbang ke Maroko dengan menggunakan penerbangan Qatar Airways pada Kamis (2/2). Perjalanan Arab Saudi–Maroko semestinya bisa ditempuh dalam 11 jam. Itu sudah termasuk transit selama sejam di Doha, Qatar.
Tetapi, yang terjadi, kami harus menempuhnya dalam 24 jam. Lho, kok bisa? Ya, itu terjadi karena pesawat kami delayed di Jeddah sehingga saat di Doha, kami ketinggalan pesawat menuju Casablanca. Padahal, penerbangan Doha–Casablanca hanya sekali dalam sehari.
Alhasil, pihak Qatar Airways menawarkan solusi alternatif. Yakni, kami harus menunggu penerbangan esok harinya dan itu berarti kami kehilangan banyak waktu di Bandara Doha. Alternatif kedua, kami diterbangkan sore hari itu juga, tapi melalui Beirut, Lebanon, baru kemudian menuju Casablanca.
Setelah mempertimbangkan efektivitas waktu, akhirnya kami memilih alternatif kedua: terbang melalui Beirut. Hitung-hitung dapat bonus kunjungan ke Beirut meski hanya di bandaranya.
“Kapan lagi kita bisa mengunjungi Beirut kalau tidak karena delayed seperti ini?” kata Pak Dono, salah seorang jamaah asal Jakarta, lantas tertawa.
Kami pun terdampar di Doha selama 9 jam, dengan kompensasi makan pagi dan makan siang di resto milik Qatar Airways.
Baru sorenya sekitar pukul 17.45 waktu setempat kami terbang menuju Beirut. Perjalanan ditempuh sekitar 2 jam. Kemudian dilanjutkan ke Casablanca. Kami baru mendarat pada tengah malam di Bandara Internasional Mohammed V.
Dari bandara, kami meneruskan perjalanan darat selama 3 jam ke Kota Marrakesh. Dan, baru masuk hotel sekitar pukul 03.00. Di Marrakesh itulah kami mulai bisa menikmati keindahan wisata ala Maroko setelah perjalanan panjang yang melelahkan karena keterlambatan penerbangan.
Marrakesh adalah kota budaya tua, yang dibangun sejak 1062 oleh Abu Bakar Ibnu Umar. Tata kotanya dipertahankan secara tradisional, dengan bangunan-bangunan berwarna kemerahan karena dibangun dengan menggunakan pasir merah ochre. Seluruhnya. Kota itu pun dikenal dengan sebutan red city.
Memasuki kota ini serasa mengarungi laut merah ochre di sela-sela pegunungan dan pepohonan yang menghijau. Eksotis!
“Marrakesh adalah kota budaya yang sangat penting dan terkenal di Afrika. Satu di antara empat kota terbesar di Maroko setelah Casablanca, Rabat, dan Fez,” papar Ahmed Fouad, pemandu perjalanan kami yang menguasai empat bahasa: Inggris, Prancis, Spanyol, dan Italia.
Casablanca adalah kota bisnis, Rabat dikenal sebagai kota administrasi sekaligus ibu kota Maroko, dan Fez adalah kota pendidikan dan spiritual.
Menuju ke Kota Fez yang berjarak sekitar 5 jam perjalanan dengan bus, kami menyusuri kaki pegunungan Atlas yang membujur secara diagonal di sepanjang Afrika Utara bagian barat itu.
“Ke arah paling kanan kita menuju ke Gurun Sahara, sedangkan ke kiri kita akan mendaki pegunungan Atlas menunju puncak yang bersalju,” kata Fouad.
Mendengar kata “salju” di Afrika, kami merasa surprised. Sebab, sebelumnya, bayangan kami tentang benua Afrika adalah identik dengan padang pasir yang panas dan tandus.
Yang paling terkenal adalah Gurun Sahara yang membentang begitu luas, meliputi beberapa negara. Di antaranya, Maroko, Aljazair, Libya, Mesir, Mauritania, dan Tunisia. Luasnya sekitar 9 juta kilometer persegi. Setara dengan luas negara Amerika Serikat.
Konon, Gurun Sahara sangat panas saat siang. Suhunya bisa lebih dari 55 derajat Celsius. Saat malam, suhunya bisa di bawah nol derajat Celsius. Tetapi, karena kadar air atau kelembapannya sangat rendah, tidak ada es di Gurun Sahara. Curah hujannya hanya 25–250 mm per tahun.
Sebaliknya, kawasan utara Afrika mendapat hujan yang jauh lebih banyak dari arah Laut Atlantik dan Laut Mediterania. Khususnya di sebelah utara dan barat pegunungan Atlas sehingga kawasannya sangat hijau dan subur.
Karena itulah, Maroko menyandarkan perekonomian pada sektor pertanian dan pariwisata, memanfaatkan keindahan dan kesuburan wilayahnya. Pegunungan Atlas menjadi pembatas antara kawasan subur di utara dan kawasan gersang di bagian selatan.
Saya langsung request kepada Fouad untuk melihat salju Afrika secara langsung. “Pastilah eksotis. Sebab, selama ini salju identik dengan Eropa, sedangkan Afrika identik dengan Gurun Sahara.”
Jamaah wisata pun setuju dan berseru gembira. Jadilah kami berbelok ke arah puncak pegunungan Atlas. Dan, ternyata, kami tak harus sampai ke puncak Gunung Atlas untuk menemukan salju. Kami cukup berada di Kota Ifrane, yang berketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut.
Dua minggu sebelumnya, menurut Kusnadi, mahasiswa Indonesia di Maroko yang menjadi asisten Fouad, perjalanan ke Kota Ifrane penuh dengan salju.
Sebab, saat itu musim dingin sedang memuncak. Dia lalu menunjukkan video saat mengunjungi Ifrane. Benar-benar serasa di Eropa. Hujan salju turun menimpa pepohonan, atap-atap rumah, dan jalanan. “Kami menyebut Kota Ifrane sebagai Swiss-nya Maroko,” ujarnya.
Waktu kami berada di Ifrane, salju tidak setebal bulan Januari. Tapi, di sebagian kawasan masih tersisa tumpukan salju. Sebagian penduduk sengaja menyirami kebun dan atap rumah mereka dengan air yang segera membeku menjadi salju, memperindah pemandangan di halaman rumah.
Kami pun memanfaatkannya untuk berfoto-foto di kawasan yang masih bersalju itu. Sungguh pemandangan eksotis yang tergolong langka. Ternyata Afrika tidak hanya punya Gurun Sahara, melainkan juga salju yang demikian memesona. Subhanallah…! (*)
LOGIN untuk mengomentari.