MEDAN ( Berita ) : Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumut menilai keinginan pemerintah memanfaatkan dana haji sebagai investasi pada pembangunan infrastruktur, dinilai tidak tepat.
Ketua MUI Sumut Prof. DR.H. Abdullah Syah, menjawab Wartawan , Kamis (16/3), mengatakan pemerintah jangan mengambil kesempatan mengelola dana haji sebagai dana segar untuk pembangunan infrastruktur.
‘’Harusnya pemerintah paham bahwa dana haji yang terkumpul merupakan dana ribuan orang yang mengendap dalam rangka membeli seat untuk berangkat menunaikan ibadah haji,” ujarnya.
Artinya, lanjut Abdulah Syah, sebagai dana yang diperuntukkan untuk beribadah oleh jamaah, sudah menjadi keharusan pengelolaan dana haji juga secara bersih yang bebas dari unsur keharaman atau subhat “Jika seandainya dana haji harus dipergunakan, maka selayaknya dipergunakan untuk para jamaah haji itu sendiri.
Yaituu dengan melakukan pembangunan fasilitas haji,” sebut Abdullah Syah. Disebutkannya bahwa fasilitas haji yang dimaksudkannya, seperti pembelian pesawat, pembangunan asrama haji baik di Mekkah, Jeddah, dan Madina.
Sehingga hal ini sangat membantu para calon jamaah haji.“Dengan adanya asrama haji di sana, akan meringankan para jamaah, sehingga tidak susah mencari penginapan atau hotel di sana. Dan tentunya hal ini tidak hanya bermanfaat bagi jamaah haji, juga para jamaah umrah. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mempergunakan dana haji sebesar Rp 90 Triliun untuk pembangunan infrastruktur,” terangnya.
Bank Syariah
Disebutkan Prof. Abdullah Syah, kalaupun dana haji akan digunakan untuk investasi, maka yang memungkinkan adalah membangun bank syariah dilakukan kebijakan yang sama dalam pengelolaannya sehingga kebasahan dan keuntungan yang diperoleh dapat diketahui sekaligus transparan.
Kebijakan ini bukan hanya terkait dengan upaya mendorong perkembangan ekonomi syariah itu sendiri. Namun lebih dari itu, dana umat yang dipakai untuk melaksanakan ibadah harusnya bersih dari unsur-unsur riba.
Dengan kata lain, kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan dana umat bukan hanya terkait dengan persoalan untung-rugi, lebih dari itu menyangkut aspek teologis sebagai umat Islam yang merasa sah ibadah yang dikerjakannya.
Kemungkinan lain, mendirikan bank syariah yang khusus mengelola dana haji. Dengan demikian dana haji dapat terpusat dan secara utuh dapat dikelola. Karenanya, sepantasnyalah wacana untuk mendirikan bank syariah khusus haji pantas untuk diperbincangkan secara serius oleh pemerintah dan pihak yang terkait.
Selain alasan terpusatnya dana haji yang bebas dari unsur-unsur riba, dana tersebut juga dapat dikelola secara maksimal secara syariah, sehingga dapat memberikan keuntungan yang sangat besar.
Selanjutnya, melakukan investasi dana haji melalui wakaf uang dan investasi Sukuk. Dua instrumen investasi ini sangat memungkinkan dilakukan dalam rangka pemberdayaan dana haji secara syariah.
Investasi melalui wakaf uang dapat merujuk UU No. 41 Ten-tang Wakaf. Salah satu jenis wakaf yang dapat dilakukan adalah wakaf uang dalam jangka waktu tertentu, dalam hal ini dana calon jamaah haji yang masuk dalam daftar tunggu di atas satu tahun sebelum keberangkatan dapat diinvestasikan melaui wakaf uang sehingga dana tersebut lebih berdaya.
Selain itu, dana haji yang “terlantar”, yakni dana yang mengendap beberapa tahun sebelum keberangkatan dapat diinvestasikan melalui instrument sukuk atau SBSN (Surat Berharga Syariah Nasional). (WSP/m38/I)