in

Dana Hibah Sebagai Alat Politik

Oleh: Muhammad Bobby S,H 
(Mahasiswa S2 Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta)

Dana hibah adalah pemberian bantuan uang/barang atau jasa dari
pemerintah daerah. Dana hibah ditujukan kepada pemerintah daerah lainnya,
perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara
spesifik telah ditetapkan peruntukannya bersifat tidak wajib dan tidak mengikat
serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang
penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dengan memperhatikan rasa keadilan,
kepatuhan, nalitas dan manfaat untuk masyarakat Menurut Peraturan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia (Permendagri) nomor 13 tahun 2018 belanja
hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang,
barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, dan
kelompok masyarakat/perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan
peruntukannya. Belanja hibah bersifat bantuan yang tidak mengikat/tidak secara
terus menerus dan harus digunakan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
dalam naskah perjanjian hibah daerah.

Hibah kepada pemerintah daerah lainnya dan kepada perusahaan daerah,
badan/lembaga/organisasi swasta dan/atau kelompok masyarakat/perorangan
dikelola dengan mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. APBD merupakan rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD
merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah yang merupakan pedoman bagi
pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam masa satu
tahun anggaran.

Namun yang menjadi permasalahan di berbagai daerah di Indonesia, dana
hibah dan bantuan sosial sering kali dimanfaatkan penguasa daerah untuk
kepentingan pribadinya. Dari program yang digunakan untuk menunjang popularitas

elektabilitas  politiknya hingga dijadikan ajang korupsi besar-besaran oleh politisi
maupun pejabat publik lainnya yang memiliki kuasa, terutama kuasa anggaran.
Banyaknya laporan, keluhan hingga kritikan dari berbagai lapisan masyarakat
menunjukan bahwa implementasi program-program dana hibah dan bantuan sosial
tersebut dinilai tidak efektif. Ketidakefektifan tersebut akibat dari masalah
manajemen atau besarnya celah korupsi dalam sistem dan proses
implementasinya.

Kritik juga tertuju pada sasaran program-program bantuan
sosial tersebut yang juga dinilai tidak efektif. Dampaknya, mengakibatkan
terjadinya banyak kasus seperti salah sasaran, kegiatan yang tidak tepat, hingga
pemanfaatan program oleh kelompok yang seharusnya tidak berhak Inovasi
kepentingan diri sendiri atau kelompok Permasalahan tersebut seharusnya menjadi
perhatian pemerintah daerah.

Baca Juga:  Respon Atas Wacana Penyederhanaan Kurikulum Yang Tidak Berpihak Pada Sejarah

Program-program dana hibah juga harus berhadapan dengan perilaku korupsi
penguasa hingga pejabat publik daerah di Indonesia. Perilaku inilah yang merupakan
ancaman bagi program-program dana hibah bantuan sosial tersebut di Indonesia.
Selain menjadi lahan korupsi, dana hibah dan bantuan sosial juga kerap
menjadi lahan politis.

Tujuannya untuk meningkatkan popularitas hingga elektabilitas
penguasa (politisi yang menjabat jabatan publik). Dugaan perilaku politik “balas
budi”, politik distributif, hingga politik anggaran yang menguntungkan pribadi
ataupun golongan sering menjadi perhatian para akademisi maupun publik. Dengan
anggaran yang sangat fantastis, di sisi lain daftar penerima yang masih patut dikaji
agar tepat sasaran. Jangan sampai peruntukan dana hibah dan Bansos ini dijadikan
ajang dana politik “balas budi”.

Relasi Kekuasaan dan Korupsi. Kajian akademis seputar korupsi di Indonesia
tampaknya masih kurang menarik dibandingkan wacana seputar kecaman terhadap
korupsi dan pelakunya yang berproses di ruang publik. Juga, korupsi masih dipandang
sebagai sebuah laku buruk yang dipicu kombinasi berbagai persoalan yang tidak dapat
diatasi, sebuah perspektif dan persepsi pesimistik.

Sementara itu, ada pemahamanbahwa korupsi sudah menjadi persoalan global, tetapi

upaya konkret penanggulangannya belum bergerak mengikuti kecenderungan itu. Buktinya, ketika
sejumlah negara tetangga mengganjar pelaku tindak pidana korupsi dengan hukuman
mati, Indonesia justru bingung mengambil sikap.

Ketika para pejabat negeri
tertangkap tangan melakukan korupsi, sontak muncul wacana untuk memberlakukan
hukuman mati. Tetapi, beberapa hari kemudian, desakan itu pun berlalu tanpa bekas
sama sekali.

Para petinggi negeri bahkan mencoba mengalihkan pembicaraan seputar
hukuman mati dengan menawarkan alternatif lain yang menjauh dari isu hukuman
mati, umpama pemiskinan koruptor dan pencabutan hak politik terpidana kasus
korupsi. Korupsi biasanya dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
keuntungan pribadi. Penyalahgunaan kekuasan publik itu mudah terjadi ketika sektor
publik dan privat bertemu.

Kebijakan dana hibah dan bansos sudah memiliki segudang masalah dari
perencanaan hingga implementasinya. Mengetahui hal tersebut, harusnya pejabat
publik hingga birokrat di daerah kita memiliki inisiatif untuk memperbaiki sistem
yang ada.

Meningkatkan jumlah anggaran tanpa meningkatkan kualitas
kepemimpinan dan tanpa menyelesaikan problematika yang sudah dijelaskan di atas
malah menjadikan kebijakan dana hibah dan bansos menjadi sasaran korupsi
penguasa daerah.

Setidaknya, beberapa provinsi di pulau Jawa memiliki kebijakan
untuk meningkatkan jumlah anggaran yang diperuntukkan dana hibah dan bansos
Pos anggaran dana hibah dan Bansos secara umum dalam pelaksanaannya memiliki
segudang masalah dan kelemahan yang sering ditemukan, misalnya terkait
perencanaan dan penyusunan proposal, realisasi yang tidak sesuai,
pertanggungjawaban fiktif, penyuapan dalam proses pencairan, penyaluran yang tidak
tepat sasaran, dan tidak direncanakan dalam prioritasnya.

Baca Juga:  Buronan Kabur dari Sel Polrestabes Palembang Didor

Pemerintah daerah harus
mengingat bahwa ada salah satu amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan
Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah,
bahwa dana hibah dan bansos tidak wajib dianggarkan setiap tahun
Penguasa daerah dan birokratnya sering memanfaatkan dan mencari celah di
dalam peraturan atau perundang-undangan yang kemudian dijadikan landasan hukum
kebijakan dana hibah dan bansos sumber APBD.

Penulis menemukan beberapa celah  yang terdapat di Peraturan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang
Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.

Masalah pertama muncul ketika pasal ini memiliki pengecualian. Redaksional
pengecualian yang tercantum pada pasal 4 (4)d memiliki arti yang belum spesifik. Hal
inilah yang menjadi alasan kepala daerah bisa melalukan penganggaran dana hibah
dan bansos setiap tahunnya dengan alasan sesuai pengecualian yang ada pada pasal
tersebut. Bagi penulis, pasal ini merupakan pasal yang sering digunakan penguasa
daerah untuk melakukan korupsi dana hibah dan bansos.

Pasal 23A Merupakan pasal yang ditambahkan pada perubahan kedua dan
Pasal 32 (2a) merupakan perubahan dari pasal sebelumnya. Kedua pasal tersebut
merupakan tambahan dan perubahan dari permendagri nomor 32 tahun 2011 menjadi
nomor 39 tahun 2012. Jika ditinjau dari peraturan pertama, permendagri nomor 32
Tahun 2011, tidak ada pasal tentang pemberian dana hibah dan bansos yang ‘tidak
direncanakan”. Kebijakan ini nantinya harus mendapatkan persetujuan kepala daerah
dan SKPD terkait.

Dana hibah dan bansos seringkali tidak tepat sasaran ataupun
bersifat politis. Hal tersebut dikarenakan pasal 32 (2a) tentang penyerahan yang
diajukan melalui permintaan tertulis dari individu dan atau keluarga dengan
persetujuan kepala daerah, ternyata kerap kali diimbangi dengan peraturan teknis
yang benarbenar memadai. Sehingga sering kali dana hibah dan bansos ditujukan
bersifat subjektif, tidak objektif. Kemudian makna ‘resiko sosial’ yang dimaksud
didalam pasal 23A juga bersifat umum, tidak spesifik. Sehingga dampaknya, pasal ini
juga bisa menjadi celah penguasa daerah untuk melakukan korupsi dana hibah dan
bansos.

Baca Juga:  Polda Sumsel Serahkan 5 Ton Beras Untuk Warga Tangga Takat

Kemudian Rapuhnya perundang-undangan bertemu corak birokrasi yang
korup, praktis memperbesar peluang terjadinya korupsi oleh institusi. Pemahaman itu
berangkat dari kenyataan bahwa praktik korupsi tidak hanya telah menyimpangkan
aturan-aturan yang berlaku, tapi justru sebalikya, aturan-aturan yang ada kerapkali
dapat dimanipulasi untuk melegitimasi atau bahkan membenarkan tindakan korupsi
(Paskarina, 2018). Pada konteks itu, peluang yang terjadi dapat semakin menguatkan
praktik korupsi yang mengakar kuat dalam ranah institusi dengan pola yang
melembaga dan melibatkan jejaring kekuasaan yang ada.

Kebijakan dana hibah dan bansos sumber APBD memang perlu perhatian
khusus dari berbagai pihak, pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga masyarakat
luas. Efek korupsi yang muncul dalam konteks pengelolaan dana hibah sesungguhnya
berpeluang merusak kesempatan publik dalam memperoleh sumber daya secara lebih
efisien. Meskipun terdapat program-program populis dengan maksud meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, namun ketika program itu dikelola dalam sistem yang
masih kuat pontesi koruspsinya, program ini justru melanggengkan problem yang
dihadapi dalam persoalan distribusi kesejahteraan, yakni pembatasan akses publik
terhadap sumber daya untuk kesejahteraan.

Saran dan Masukkan dari Penulis

  1. Pemerintah daerah harus mau membiasakan diri untuk mengikutsertakan
    masyarakat dalam proses pengambilan keputusan ataupun proses implementasi
    kebijakan, khususnya perencanaan hingga implementasi dana hibah dan bansos.
  2. Tegakkan supremasi hukum (law enforcement). Tanpa tegaknya supremasi hukum,
    politik akan menjadi panglima di negara ini. Jika itu yang terjadi,
    kekacauankekacauan politik hingga kebijakan yang mudah untuk di korupsi
    ataupun politisasi oleh kartel elit politik akan sering terjadi.
  3. Pentingnya Akuntabilitas. Dalam penjelasan sebelumnya penulis sudah
    menjelaskan rumus Klitgaard yang menyatakan, semakin tinggi tingkat
    Akuntabilitas sebuah pemerintahan, segala bentuk kebijakan akan jauh dari proses
    korupsi.
  4. Terakhir, Transparansi. Prinsip akuntabilitas selaras dengan prinsip transparansi.
    Karena prinsip transparansi akan menunjang tingkat partisipasi masyarakat dalam
    setiap proses kebijakan.#

What do you think?

Written by Julliana Elora

Bergabungnya Shalika Aurelia ke klub seri B Eropa memotivasi timnas putri

Remaja Putri Padang Sidempuan Tewas Tenggelam di Air Terjun