Budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun dalam bukunya Surat Kepada Kanjeng Nabi (2015), memaknai secara mendalam hakikat ibadah qurban atau kurban. Cak Nun antara lain mengomparasikan dan memberikan distingsi yang jelas antara kurban dengan korban. Dua istilah ini tidak saja sering dirancukan, tetapi juga cenderung selalu dikorelasikan bahkan diidentikkan begitu saja. Menurut Cak Nun, korban tidaklah bermakna kurban, demikian pula kurban tidak dimaksudkan untuk dijadikan sebagai korban.
Orientasi Korban
Baik istilah kurban maupun korban, berasal dari akar kata Bahasa Arab yang sama; qoroba, yaqrobu, qurban, yang bermakna dekat. Kedua kata serapan yang sudah baku dan tercantum dalam KBBI itu mengalami pergeseran dan perbedaan makna. Kurban dimaknai sebagai sembelihan pada Hari Raya Haji untuk persembahan kepada Allah. Dalam arti lain, kurban adalah pujaan/persembahan sesuatu kepada dewa-dewa. Sedang korban diartikan sebagai pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan sebagainya; atau sesuatu yang menderita akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya.
Berdasarkan akar katanya, maka secara harfiyah kurban berarti hewan tertentu yang disembelih dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam terminologi fiqh, kurban disebut “udhiyyah” berasal dari kata “dhuha” yang awalnya bermakna “waktu dhuha” yakni waktu antara pukul 7 pagi hingga 11 siang. Karena itu penyembelihan hewan kurban atau “tadhiyya” dianjurkan dilaksanakan pada waktu dhuha. Sedangkan masa tertentu penyembelihan disebut Idul Adha, yang kemudian dilanjutkan tiga hari tasyrik sesudahnya.
Masyarakat Muslim pada umumnya memahami bahwa penyembelihan hewan kurban dilakukan dalam kerangka korban. Artinya, seseorang yang berkurban pada prinsipnya ingin mempersembahkan suatu pemberian kepada Tuhan dalam rangka menyatakan tanda kebaktian, kesetiaan, kepatuhan, ataupun ketaqwaan. Semua itu dilakukan dengan cara “mengorbankan” harta berwujud hewan sesuai ketentuan syar’i. Ini berarti bahwa pengorbanan yang relatif cukup bernilai tersebut dipandang sebagai sebuah bentuk pengabdian. Pada akhirnya, pengabdian yang dilakukan adalah dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Orientasi Kurban
Berbeda dengan pemahaman umum, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun memaknai kurban dengan orientasi tauhid yang lebih kental dan bernuansa sufistik. Dalam kurban menurutnya tidak ada “pengorbanan” hak milik seseorang atau tidak ada yang “dikorbankan” dari milik seseorang untuk Tuhan. Ini menurutnya, lantaran pada hakikatnya seseorang tidak punya kepemilikan terhadap apapun, karena semua yang ada hanyalah milik Allah SWT.
Menurut Cak Nun, kata kurban (qurban) tidak sama dengan korban seperti yang dikenal dalam Bahasa Indonesia. Korban, dalam pemahamannya berkonotasi negatif, yakni pelepasan sesuatu dari seseorang kepada orang lain melalui suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dikehendaki. Sedangkan qurban menurutnya berarti menyampaikan (bukan memberikan) sesuatu yang seolah-olah merupakan “milik” kita kepada Tuhan yang memang sebenarnya berhak dan memiliki sesuatu itu.
Dalam pengertian ini menurut Cak Nun, tidak ada pemberian sesuatu, tetapi yang ada hanyalah penyerahan kembali sesuatu. Dalam konteks inilah menurutnya Ibrahim bukanlah mengorbankan Ismail ketika ia menyembelih puteranya itu. Demikian pula ketika Ismail merelakan nyawanya, bukan berarti ia mengorbankan hidupnya. Mereka berdua, menurut Cak Nun, hanyalah melakukan bentuk keikhlasan menyampaikan kembali milik Allah kepada Allah.
Hakekat semua yang ada pada manusia menurutnya hanyalah sebatas “barang pinjaman”. Tidak ada seorangpun yang pernah merancang kelahirannya, bahkan keberadaannya sebagai manusia. Eksisnya individu hanyalah karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkannya ada. Seseorang bisa berjalan dan menggerakkan tubuh bukanlah karena ia rencanakan sejak semula, melainkan semata-mata karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkannya berjalan dan bergerak. Karena itulah, pada hakikatnya menurut Cak Nun manusia tidak pernah memiliki apapun yang ada dalam kehidupannya, bahkan termasuk dirinya sendiri. Tuhanlah satu-satunya yang memiliki hak absolut seratus persen untuk menagih ataupun meminta kembali segala miliknya, kapan dan di mana pun, serta dengan cara bagaimanapun. Karena itu, Ibrahim dan Ismail hanyalah mengembalikan hak Allah kepada Allah ketika Ia memintanya. Tidak ada yang hilang dari penyembelihan itu, karena aselinya mereka berdua tidak pernah ada dan tidak memiliki apapun juga, termasuk dirinya sendiri.
Kehidupan manusia saat ini sudah berjarak amat jauh dari tata aturan semestinya. Peristiwa kurban harus menyadarkan individu kepada hakekat eksistensinya. Secara substantif menurut Cak Nun, Ibrahim diperintah bukan untuk menyembelih Ismail, tetapi untuk menaklukkan dan memusnahkan kesepihakan dan egosentrisme rasa memiliki diri sendiri dan anaknya. Kesadaran ini sangat urgen ketika saat ini muncul persepsi individu dan kolektif bahwa diri mereka, bahkan bumi ini milik mereka. Lantas mereka melahirkan beragam sistem untuk mengatur yang mereka anggap hak milik mereka itu.
Berkurban berarti memperbaharui kesadaran untuk mampu menyembelih kesepihakan, egoisme, monopoli, olipologi, eksklusivisme, dan subjektivisme yang ada dalam diri sendiri, serta mengembalikan semuanya kepada aturan dan kehendak Tuhan Sang Pemilik diri dan alam semesta. Jika tidak, maka kita khawatir nilai hewan sembelihan bisa jadi sama saja dengan korban untuk sesajen pada kepercayaan primitif belaka. Wallahua’lam. (*)
LOGIN untuk mengomentari.