in

Dari Gafatar ke Ahmadiyah: Dampak Berita terhadap Pengusiran Warga

Media massa ramai-ramai mengemas
Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dengan label sesat
dan tuduhan menggunakan metode perekrutan dengan cuci otak kepada para
pengikutnya. Pemberitaan semacam itu mulai gencar 10 Januari 2016, terutama setelah ditemukannya dr Rica yang sejak
30 Desember 2015 dinyatakan hilang. Setiap orang
hilang segera diberitakan karena bergabung dengan Gafatar.

Tanpa sedikitpun ruang klarifikasi dari pihak (pengurus) mantan
Gafatar, kelatahan media tersebut berakibat pada tragedi kemanusiaan. Pemberitaan
sepihak menyulut amarah massa yang berujung pada pengusiran dan pembakaran
rumah-rumah warga mantan Gafatar, yang di dalamnya juga terdapat ana-anak dan
kaum perempuan, dari dua desa di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat (18/1/2016).
Pengusiran pun merembet ke daerah Kalimantan lainnya disertai gelombang
penolakan masyarakat untuk menerima warga mantan Gafatar.

Belum selesai dampak dari pengusiran tersebut, cara-cara media
mengobarkan kebencian dan amarah massa kembali terulang. Giliran Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kabupaten Bangka yang menjadi sasaran.

Salah satu media lokal yang tergabung dengan jaringan media
nasional ternama paling keras memberitakan polemik Ahmadiyah di Srimenanti, Sungailiat,
Bangka. Pada permulaan polemik, sebuah lembaga penyiaran milik pemerintah juga berkali-kali
mewartakan. Penggunaan diksi yang menghakimi dan pemilihan
narasumber-narasumber yang provokatif kental mewarnai pemberitaan dari kedua
media dengan sangat tendensius: pengusiran Ahmadiyah dari Bangka. Serupa kasus
Gafatar, pemberitaan-pemberitaan di media ini tidak pernah memberi ruang bagi Ahmadiyah
menyuarakan hak-haknya.

Media Kontrol Kelaliman Negara

Apabila mengacu pada rumusan jurnalisme Bill Kovach dan Tom
Resentiel, pemberitaan terhadap Gafatar dan Ahmadiyah Bangka tidak lain bentuk
pengingkaran pada dua dasar jurnalistik. Pertama, pengabdian jurnalis kepada warga,
bukan pada penguasa yang merampas hak-hak sipil. Kedua, fungsi kontrol atas
penguasa yang dzalim, diskriminatif.

Bagaimanapun, hak setiap warga negara untuk beragama dan
berkeyakinan dijamin Konstitusi (Pasal 29 ayat 1 & Pasal 28E ayat 2).
Jaminan yang sama termaktub dalam instrumen HAM Pasal 18 ayat 1
International
Covenant on Civil and Political

Rights
(ICCPR), karena Indonesia telah meratifikasinya dan sebagai
negara anggota PBB pemerintah berkewajiban mematuhi.

Demikianpun
kebebasan warga memilih tempat tinggal beserta hak-hak pribadi dan propertinya,
tanpa dicampuri atau diganggu secara semena-mena atau tidak sah, harus dijamin
dan dilindungi negara beserta aparatnya. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 28E
ayat 1 UUD 1945 serta Pasal 12 dan 17 ICCPR.

Alih-alih
hanya mengutip dan melegitimasi kebijakan aparat pemerintah yang
inkonstitusional dan melanggar HAM, jurnalis mesti lantang menyuarakan tuntutan
pada negara agar tidak satu pun hak-hak dan kebebasan warga dirampas.

Ada satu
kali laporan, dari seluruh warta tentang Ahmadiyah yang dibuat media lokal di
atas, tampak beda. Media tersebut berkabar dengan mengutip Ketua GP Ansor
Bangka (31/1/2016). Di situ sebagai pilar keempat demokrasi media ini mencoba menghidupkan
daya kritisnya dengan mengambil peran mengawal keadilan dan melawan kelaliman penguasa
atas hak-hak setiap warga negara yang patuh terhadap hukum, sama sekali bukan
pelaku kriminal atau penggelap uang rakyat. Pemberitaan dengan nada kritis
inilah yang perlu terus dikembangkan. 

Kritisisme Media dan Peran Lembaga Payung Pers

Untuk
itulah pakar komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando memberi penekanan
pada pentingnya kritisisme jurnalis dan media dalam memberitakan konflik,
terkhusus dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal tersebut ia
sampaikan pada diskusi media yang digelar SEJUK (25/2016) ihwal kasus Gafatar di
mana Ade menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan. Menurutnya, hal itu bisa terjadi
lantaran hilangnya kritisisme media.

Verifikasi
dan memberikan ruang yang lebih luang bagi suara korban dan minoritas dalam
konflik atau kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi atas nama agama harus
menjadi prinsip jurnalistik yang tidak boleh diabaikan demi menciptakan solusi
konstruktif untuk mencapai perdamaian.

Ikhtiar ini diajukan Johan Galtung lewat gagasan peace journalism untuk mendorong media
massa bertanggung jawab membangun dunia menjadi lebih harmonis dan damai.

Namun
demikian, tuntutan mengembangkan jurnalisme damai terhadap insan pers di
Indonesia perlu melibatkan publik. Maka dari itu, apabila mendapati pemberitaan
yang berpotensi mencabut hak-hak beragama dan berkeyakinan warga, publik harus aktif
melaporkannya sekaligus mengingatkan kepada Dewan Pers (DP) dan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI). Sebab, mereka bertanggung jawab mengawasi kurang
sensitifnya pemberitaan isu keagamaan yang hari-hari ini dampaknya sangat besar
bagi kelangsungan hidup masyarakat yang aman dan nyaman.

Sehingga,
kedua lembaga payung pers ini harus benar-benar tegas memberikan sanksi terhadap
media-media yang memprovokasi mengobarkan kebencian dan menggerakkan massa
bertindak intoleran bahkan dengan kekerasan, sebagaimana menimpa warga mantan
Gafatar.

Dengan
keterlibatan media, lembaga payung pers, dan publik dalam menghidupkan
jurnalisme damai yang menghargai keragaman agama dan keyakinan, semoga tragedi
kemanusiaan yang menimpa warga mantan Gafatar tidak terulang di Bangka. Kritisisme
media sangat dibutuhkan menggugat keputusan pengusiran jemaat Ahmadiyah di Srimenanti
oleh Bupati Bangka dan jajarannya yang dijatuhkan pada tanggal 5 Februari 2016.

Mari
bersama-sama mencegah terulangnya pengusiran warga, apa pun agama dan keyakinan
mereka.
 

What do you think?

Written by virgo

Tujuh Faktor Kemenangan Donald Trump

Spesifikasi dan Harga uMi Plus E, Hadir dengan RAM 6GB Procie Octa-core