Pilih Ratusan Item, Ruang Pameran Dilengkapi Proyektor
Tantangan besar Daud Aris Tanudirjo adalah saat koleksi terpilih tak diizinkan dibawa ke Belgia. Sebab, yang dipamerkan harus barang asli. Tema “Leluhur dan Ritual” untuk menunjukkan kearifan lokal masyarakat Indonesia.
Tepat sebelum pintu masuk pameran, foto patung Ana Deo menyambut para pengunjung. Dengan sentuhan editing, sepasang patung leluhur rakyat Flores itu terlihat hidup.
Kulitnya kuning keemasan dan matanya hijau menyala. “Di Flores, patung Ana Deo juga dipasang di depan rumah masyarakat. Tujuannya, selain simbol kesuburan, juga untuk menjaga rumah dari hal-hal negatif atau marabahaya,” kata Daud Aris Tanudirjo.
Daud merupakan kurator pameran bertajuk Ancestors & Rituals (Leluhur & Ritual) tersebut. Itulah pameran utama dari total 20 titik pameran di pergelaran Europalia Art Festival Indonesia 2017 di Brussel, Belgia, yang dibuka Selasa lalu (10/10).
Selama 104 hari penyelenggaraan Europalia (10/10/2017–21/1/2018), digelar 247 program terkait dengan seni dan budaya. Selain di Belgia, Europalia dihelat di Inggris, Belanda, Jerman, Austria, Perancis, dan Polandia. Total seniman yang terlibat mencapai 316 orang.
Keterlibatan Daud, dosen arkeologi UGM Yogyakarta, dalam Europalia dimulai sekitar akhir November 2015. Waktu itu, dia diajak rapat bersama tim Europalia yang langsung datang ke Kota Gudeg.
Selang beberapa hari, digelar rapat serupa di kantor Kemendikbud, Senayan, Jakarta. “Tidak sampai sepuluh kurator yang diundang. Masing-masing paparan konsep,” kata suami Jeanny Dhewayani tersebut.
Arahan dari tim Europalia saat itu adalah tema pamerannya yang menonjolkan heritage Indonesia. Daud pun akhirnya membawa tema dan konsep pameran tentang leluhur (ancestor) masyarakat Indonesia.
Menurut Daud, jauh sebelum konsep agama masuk, penduduk nusantara sudah memiliki keyakinan spiritual. Yakni, mengagungkan, menyembah, dan berdoa kepada leluhur.
Sebuah tangga kayu yang menjulang hampir menyentuh atap ruang pameran, misalnya, bisa jadi contoh. Tangga setinggi 5–6 meter yang berasal dari Kepulauan Tanimbar, Maluku, itu bukan sekadar tangga untuk naik genting atau memanjat pohon. Tapi merupakan tangga yang digunakan untuk ritual orang Tanimbar kala itu.
“Sebuah simbol media penghubung antara manusia di bumi dengan alam leluhur atau Tuhan. Itu di bagian ujung tangga ada ukiran kepala yang merupakan simbol leluhur,” jelas Daud sembari menunjuk ujung tangga.
Dosen arkeologi UGM itu begitu bahagia ketika konsep leluhur yang dipresentasikannya akhirnya disetujui tim Europalia. Proses selanjutnya, diskusi sambil menyiapkan materi atau bahan pameran yang berlangsung sampai setahun.
Di antaranya, berkoordinasi dengan Museum Nasional, Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) di sejumlah daerah, hingga beberapa museum daerah. Selain itu, muncul usul supaya bukan hanya leluhur, tetapi juga dilengkapi dengan ritual. Sebab, keduanya tidak bisa dipisahkan.
Pria kelahiran Klaten, 24 Juli 1959, itu menegaskan, koleksi yang dipamerkan harus asli. Tidak boleh replika. Dan, belum pernah diumbar dalam berbagai pameran serta memiliki kecocokan yang kuat dengan temanya.
Total koleksi yang dipamerkan mencapai 150 item. Koleksi terbanyak berasal dari Museum Nasional. Selain itu, ada koleksi museum-museum daerah seperti dari Pontianak, Yogyakarta, dan Palembang.
Tantangan terberat adalah tidak dapat izin membawa simbol leluhur dan alat-alat ritual koleksi museum. Misalnya, saat dia bermaksud menyertakan gentong perunggu dan patung koleksi Museum Negeri Denpasar.
Begitu pula dengan mejan, patung leluhur orang Batak yang berwujud orang naik kuda, yang juga tidak bisa dibawa ke Belgia. “Padahal, sudah sampai di Jakarta,” ujar pria yang ikut menguratori Museum Purbakala Sangiran itu.
Ternyata, setelah diperiksa sebelum pengemasan, koleksi mejan tersebut dikhawatirkan rusak sehingga diputuskan tidak boleh dibawa. Kalau sudah demikian, bapak dua anak itu pun harus memutar otak untuk mencari koleksi lain yang nilainya tidak kalah kuat.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid mengapresiasi kerja Daud dan tim. Dia menjelaskan, pameran utama tentang leluhur dan ritual bukan ditujukan untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat magis, kuno, atau primitif. “Tetapi, justru menjadi sarana untuk menunjukkan kearifan lokal masyarakat Indonesia,” ungkapnya.
Pameran Ancestors & Rituals terdiri atas tiga segmen. Zaman prasejarah, zaman Hindu-Buddha, hingga zaman Islam, kolonialisme, dan kemerdekaan. Untuk memberikan kesan modern dan tidak membosankan, ditempatkan proyektor untuk menonton film tentang leluhur dan ritual di Indonesia. Supaya tetap berkesan klasik, layarnya menggunakan anyaman bambu. Pameran itu berlangsung sampai 14 Januari 2018.
Daud optimistis Ancestors & Rituals bisa mencuri perhatian warga Belgia dan Eropa pada umumnya. Sebab, di mata Daud, orang-orang Eropa sekarang mulai merasakan kehilangan sosok leluhur.
Ritual-ritual untuk menghormati atau meminta pertolongan kepada leluhur juga semakin ditinggalkan. “Pameran ini bisa menjadi obat bagi masyarakat Eropa,” katanya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.