Deindustrialisasi berpotensi memperburuk defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan.
JAKARTA – Pemerintah memperkirakan dalam lima tahun ke depan belum mampu mengatasi masalah struktural perekonomian Indonesia, yakni defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
Pada 2018, CAD mencapai 2,98 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). CAD yang berlangsung sejak 2012 tersebut diproyeksikan hanya menyempit sehingga masih menjadi ganjalan untuk memacu pertumbuhan ekonomi tinggi. Selain itu, akan membuat ekonomi Indonesia terus tertinggal dari negara ASEAN lain, terutama Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang kini telah mencatat surplus transaksi berjalan.
Berdasarkan Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, defisit transaksi berjalan rata-rata per tahun diperkirakan berkisar 1,8–2,2 persen dari PDB. Sedangkan pada 2024, CAD diproyeksikan sekitar 1,3–2 persen dari PDB. Dokumen RPJMN itu menyebutkan tidak berkembangnya industri pengolahan berdampak pada kinerja perdagangan internasional Indonesia.
Hingga saat ini, ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas dengan jasa transportasi asing, tidak berbeda dengan periode 40 tahun yang lalu. Rasio ekspor terhadap PDB terus menurun dari 41 persen pada 2000 menjadi 21 persen pada 2018. Akibatnya, Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan hingga mencapai 3 persen, sementara beberapa negara peers sudah mencatatkan surplus.
Di tengah situasi keuangan global yang ketat, kenaikan CAD akan menghambat akselerasi pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat. Pakar ekonomi dari Universitas Brawijaya, Munawar Ismail, mengemukakan deindustrialisasi yang sedang berlangsung akan memperbesar CAD dari melebarnya defisit neraca perdagangan.
Sebab, impor bahan baku dan penolong, serta barang konsumsi akan meningkat, sebaliknya ekspor produk manufaktur cenderung turun. “Jika masalah struktural CAD terus-menerus berlangsung selama lima tahun depan, maka kemandirian ekonomi Indonesia akan terancam karena akan semakin dekat dengan middle income trap (jebakan negara berpenghasilan menengah),” jelas dia, saat dihubungi, Selasa (30/7).
Munawar menambahkan defisit perdagangan juga menyebabkan net ekspor minus sehingga mereduksi pertumbuhan ekonomi. Ekonom Indef, Bhima Yushistira, menilai perlunya pengendalian impor khususnya barang konsumsi.
Sepanjang 2018, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor barang konsumsi meningkat 22 persen dibandingkan 2017. Ini terutama karena harga barang impor dari Tiongkok, misalnya pakaian jadi, jauh lebih murah dari produk dalam negeri. “Pastinya, konsumen dengan kondisi daya beli yang tertekan akan beralih ke produk fashion impor karena harganya lebih murah,” ujar dia.
Dominasi Modal
Bhima juga mengatakan pemerintah perlu mengatur sektor digital agar tidak didominasi modal asing melalui regulasi perpajakan yang adil, dan mendorong perusahaan digital patuh membuat badan usaha tetap di Indonesia. Akibat suntikan modal dari venture capital luar negeri yang agresif, ada kekhawatiran CAD makin lebar. Arus modal yang keluar karena pembagian laba bisa memicu defisit di transaksi berjalan.
“Komponen transaksi berjalan ada yang namanya Pendapatan Primer. Tahun 2018, defisit pendapatan primer akibat transfer laba ke luar negeri mencapai 30,4 miliar dollar AS atau setara 425,6 triliun rupiah,” ungkap Bhima.
Sementara itu, rapat koordinasi Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KSSK) di Jakarta, Selasa, menyatakan tetap mewaspadai perkembangan eksternal dan domestik yang bisa memengaruhi perekonomian nasional.
Ketua KSSK, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan untuk faktor domestik, tantangan utama adalah mempertahankan momentum pertumbuhan serta memperbaiki CAD di tengah melemahnya perekonomian global.
Sedangkan dari eksternal, berlanjutnya ketegangan hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. “Faktor ini terus menekan volume perdagangan dunia dan serta memperlambat prospek pertumbuhan ekonomi global,” jelas dia.
SB/YK/bud/WP