PADA 2022, environmental performance index mencatat Indonesia sebagai salah satu negara yang tergolong buruk dalam hal pelestarian lingkungan. Dari indikator kesehatan lingkungan, iklim, dan daya hidup ekosistem, Indonesia berada di posisi ke-164 dari 180 negara yang diriset.
Indonesia dengan negara-negara Asia Pasifik berada di posisi ke-22 dari 25 negara. Dan, di kawasan ASEAN berada di posisi ke-8 dari 10 negara. Data di atas berkesinambungan dengan fakta lingkungan yang terjadi di Jakarta belakangan ini.
Polusi udara dan paparan cuaca panas berkepanjangan ikut serta mengganggu kesehatan lingkungan dan masyarakat. Fakta di tempat lain, kian memperpanjang daftar degradasi lingkungan, tengoklah kebakaran hutan di Sumatera atau Kalimantan.
Degradasi lingkungan ini akan terus berlanjut di tengah meningkatnya intensitas aktivitas manusia atas nama ekonomi, pembangunan, kesejahteraan, dan lain sebagainya di tengah dukungan sumber daya alam yang semakin menipis.
Ketegangan antara keduanya, yakni aktivitas manusia dan menipisnya dukungan sumber daya alam, mestinya mendapat respons dan peran partisipatif media, termasuk televisi dan radio, sebagaimana juga dilakukan saat terjadi bencana global Covid-19.
Televisi dan radio telah berperan mendorong lalu lintas informasi pencegahan dan penanggulangan persebaran Covid-19 dengan terus-menerus memberikan pelayanan informasi edukatif, penyampaian kebijakan pemerintah dengan utuh, termasuk menjadi pintu penghubung pembelajaran di tengah masa pandemi.
Ruang Terbatas
Sebenarnya, degradasi ekologis sudah kerap mendapat respons dari pemerintah. Presiden Joko Widodo menanggapi polusi udara di Jakarta, semisal, dengan meminta agar dilakukan langkah jangka pendek dan jangka panjang untuk mengatasi buruknya kesehatan lingkungan.
Sebelumnya, dalam KTT G20 di Roma, Italia, dengan topik perubahan iklim dan lingkungan hidup, Presiden Joko Widodo dengan tegas mengajak negara-negara anggota untuk mengatasi perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.
Sejumlah forum dan pertemuan bertaraf global dan nasional juga berkali-kali digelar untuk merespons degradasi lingkungan secara global. Celahnya berada pada tata kelola komunikasi publik yang tipis, tidak mendapatkan ruang penyampaian yang utuh.
Ajakan dan hasil kebijakan dari segala bentuk jenis forum hanya sebatas pemberitaan dalam bingkai peristiwa. Menjadi momentum seremoni belaka yang tidak disisipi dengan pesan kuat yang bisa menimbulkan perdebatan publik mengenai lingkungan.
Degradasi lingkungan dan kebencanaan lainnya yang terjadi di berbagai tempat tidak dieksplorasi menjadi diskursus publik. Isu seputar lingkungan selalu tergelincir pada adagium “bad news is good news”, yaitu informasi yang mengandung tragedi dengan penebalan sisi ekonomi dan politik.
Sisi yang ditampilkan notabene menampilkan sisi emosional, simpati dan empati. Sehingga, yang sampai kepada publik adalah peristiwa menyedihkan dan mengaduk emosi publik belaka. Belum lagi, semisal, kejahilan televisi dan radio untuk mengorkestrasi kepentingan politik di dalam peristiwa kebencanaan dan degradasi lingkungan.
Belum lagi jika kelindan ekonomi semata menjadi kiblat tayangan, konsumerisme bisa menjadi norma produksi dan pendistribusian informasi. Dampaknya, isu lingkungan mendapat porsi yang tipis karena tidak termasuk pada program yang berladang iklan tinggi.
Isu lingkungan dianggap bukan informasi tayangan yang seksi. Berbeda dengan program hiburan, dan program lainnya yang seperti berita politik, drama, gosip, dan olahraga. Keadaan ini membuat ruang kesadaran publik terhadap akses isu lingkungan menjadi terbatas.
Perubahan iklim, kesehatan lingkungan, dan daya hidup ekosistem tidak tertancap dalam layar kaca dan pendengar pemirsa. Sehingga, isu lingkungan tidak membumi, tidak menjadi diskursus dan perdebatan publik.
Alternatif, Ecobroadcasting
Sebagaimana ilustrasi di atas, saya menawarkan alternatif mengenai tata kelola komunikasi isu lingkungan melalui lembaga penyiaran. Yaitu, dengan penerapan ecobroadcasting, penyiaran ramah lingkungan.
Penanaman mangrove dalam rangkaian kegiatan Hari Penyiaran Nasional ke-90 di Bintan, Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu hakikatnya bukan sebatas seremoni. Kegiatan tersebut juga ditujukan untuk mengajak lembaga dan insan penyiaran di seluruh Indonesia agar lebih memberi perhatian serius dan peka terhadap persoalan lingkungan melalui ecobroadcasting.
Alternatif ini untuk mendudukkan isu lingkungan sebagai kebutuhan dan kepentingan publik. Artinya, penyampaian informasi mengenai lingkungan tidak selalu disandarkan dan dipertimbangkan keuntungan ekonomi, melainkan sebagai proses pencerahan publik mengenai isu lingkungan untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Selanjutnya untuk menghindari pemberitaan dan informasi mengenai lingkungan pada definisi peristiwa tayangan belaka. Tetapi lebih kepada membangun kesadaran publik untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan.
Degradasi lingkungan tidak sebatas diinformasikan sebagai peristiwa tragedi nan menyedihkan, tetapi harus mampu menjelaskan secara utuh mengenai mitigasi, kejadian atau peristiwa, berikut dampak sampai dengan solusinya. Terakhir adalah membangun kedekatan isu lingkungan dengan masyarakat.
Membangun kedekatan ini bisa dilakukan dengan pemanfaatan konten lokal untuk digunakan menayangkan produk kebudayaan lokal yang berkaitan dengan upaya pelestarian lingkungan seperti sarasehan hutan di Kalimantan Selatan, ulur-ulur di Tulungagung, paca goya di Maluku Utara, dan mantari bondar di Sumatera Utara. (Ubaidillah, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)