OPINI – Dewi Emeline , belakangan diketahui berdomisili di daerah Cengkareng, dan punya toko di Glodok. Itu hal itu akan menjadi informasi yang biasa-biasa saja, jika tidak ada yang istimewa dengan apa yang telah dikatakan oleh wanita etnis Cina.
Informasi itu menjadi istimewa setelah kita membaca status wanita di akun facebooknya. Dengan kata-kata yang demikian kasarnya, ia menghina kaum pribumi sebagai bangsa kuli, karena banyaknya TKW, seraya memberikan dukungan kepada BTP.
Begitu istimewanya sehingga, apa yang dituliskan oleh wanita ini screenshoot nya menjadi viral, di berbagai media online.
Saya pribadi tidak begitu mempedulikan screenshoot status wanita ini belakangan ini. Karena bagi saya, apa yang dikatakan tak lebih dari ekspresi alam pikiran bawah sadarnya yang diliputi nafsu amarah dan kesombongan.
Begitu pula dengan apa yang disampaikan akhir-akhir ini oleh seorang komikus etnis Cina, Ernest, yang menyatakan bahwa Dr. Zakir Naik adalah seorang tokoh pendukung ISIS, maka saya juga tidak begitu peduli. Karena dalam pandangan saya, sudah banyak non-muslim melakukan itu, yaitu menghina agama Islam, tanpa terlebih dahulu memahami ajaran Islam. Termasuk yang dilakukan Pak Basuki.
Namun ketika saya saksikan video-nya, yang berasal dari beberapa tahun lalu, saya jadi tertarik. Dalam pandangan saya, apa yang dikatakan oleh Ernest ini, persis sama dengan apa yang pernah dikatakan oleh Pak Tommy, putra Pak Harto, bahwa pilkada ini menunjukkan kebangkian “Nasionalisme Cina”. Ingat nasionalisme Cina, bukan nasionalisme Indonesia.
Inilah yang membuat saya menjadi teringat dengan seorang tokoh besar Kerajaan Singasari, Kertanegara, yang dengan tegas menolak permintaan Khubilai Khan, Kaisar Cina, untuk takluk kepada Cina. Bahkan tanpa ragu-ragu, Kertanegara kemudian melukai wajah utusan Khubilai Khan itu, yang bernama Mengchi.
Tekad yang digariskan oleh Kertanegara ini, kemudian dilanjutkan oleh Mahapatih Gajahmada, yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya untuk mempersatukan dan memperkuat Nusantara.
Seraya mempersatukan Nusantara, Patih Gajah Mada memperkenalkan konsep baru dalam hubungan antar negara, yaitu Mitreka-satata, yang artinya, hubungan antar negara sebagai negara yang sederajat (satata).
Mitreka-satata ini adalah sindiran terhadap Kekaisaran Cina, yang selama ini, bahkan sejak adanya kerajaan pertama di Indonesia, mewajibkan kerajaan-kerajaan di Indonesia itu untuk mengirimkan upeti ke Cina.
Maka tak heran jika kita temukan banyak berita Cina yang menyebutkan kedatangan utusan-utusan dari berbagai wilayah di Nusantara, seperti dari Kediri, Kalingga, dan Sriwijaya yang berdatangan ke Cina, hanya untuk mengirimkan upeti.
Mengapa itu terjadi?
Hal ini tak lepas dari konsep yang diyakini oleh Kekaisaran Cina bahwa Cina atau Tiongkok atau Chungkuo adalah negeri pusat. Artinya, dalam kepercayaan mereka beranggapan bahwa pemilik bumi ini adalah Cina, sedangkan bangsa-bangsa lain, hanyalah merupakan bagian dari kerajaan Cina.
Dan ini dilakukan dengan serius selama bertahun-tahu bahkan berabad-abad. Maka kita tidak heran dengan kedatangan Cheng Ho, dengan sekretarisnya Ma Huan, dengan ratusan kapal perang ke berbagai wilayah negeri hingga ke Afrika. Hal itu ditujukan untuk mempertegas konsep Chungkuo itu.
Setelah berlangsung berabad-abad, saya berfikir konsep Chungkuo itu sudah tidak relevan lagi.
Namun beberapa kasus, pada era kontemporer ini, membuat saya pribadi jadi teringat semangat Chungkuo itu.
Taruhlah, penguasaan Cina terhadap Tibet, yang didahului dengan membangun kerjasama dalam bidang pembangunan selama beberapa tahun. Setelah dikirim ribuan tenaga kerja, yang disusul dengan militer, maka akhirnya Tibet ditaklukkan Cina.
Jauh sebelum itu, di Asia Tengah, ada sebuah Kerajaan Islam yang cukup besar dan luas wilayahnya, yaitu kerajaan Turkistan. Namun dengan cara-caranya sendiri, selama bertahun-tahun akhirnya wilayah ini juga dikuasai Cina, dan berubah namanya menjadi Xinjiang.
Begitu pula, ramainya penolakan terhadap kehadiran Cina di Vietnam, Hongkong, Australia, dan beberapa negara di Afrika, sebenarnya bisa menjadi pelajaran bagi kita, bila kita bisa melepaskan “ego” kita, anak kecil dalam diri kita.
Kasus Ibu Dewi Emeline, Ernest, Edi Tansil, BLBI, Reklamasi, Sumberwaras, dan masih banyak yang lainnya, sebenarnya menjadi pelajaran yang nyata bagi kita. Kecuali mata, telingat dan hati kita sudah picek, buta tuli.
Comments
Silakan Komentar