Dilan, pemuda berseragam putih abu-abu, dengan lokasi waktu tahun 90-an. Era berkomunikasi dengan telepon jalanan, juga untuk pacaran. Namun itu tak menghalangi, atau malah menambah otentik kisah jatuh cintanya pada Milea, gadis yang sudah punya banyak pacar—atau penggemar.
Dilan tadinya muncul dalam novel. Kini meledak di layar film. Dalam 10 hari menarik lebih dari dua juta pembeli tiket. Dan masih terus bergaung gemanya, dengan separuh jumlah layar bioskop yang ada menayangkan.
Meme dan ulasannya, atau komentar sudah menggaungkan terus sehingga kemungkinan capaian dalam pembicaraan menjadi makin fenomenal. Sebagai film remaja, atau tokoh dari novel fiksi, Dilan adalah “penerus” Galih-Ratna, Lupus, atau Cinta.
Selalu ada generasi baru—biasanya lima tahun, atau tiga tahun kalau cepat—remaja memiliki idolanya, menemukan dan memilih yang mewakili kisah mereka.
Kali ini, bukan hanya remaja, penggemarnya menyebar di antara “mamahmamah muda” atau “Mahmud”, untuk menyebut perempuan yang sudah berkeluarga, dalam demografi usia 23–35 tahun.
Dengan peran media sosial—iklan efektif tanpa perlu pengeluaran khusus— sempurnalah keberhasilan Dilan. Bukan hanya berhasil memesona Milea, melainkan juga penonton dan penggemarnya. Dilan diciptakan pengarangnya, Pidi Baiq.
Seniman yang tinggal di Bandung, yang mendirikan negara “Panas Dalam”, yang luasnya hanya beberapa meter persegi, yang setiap melangkah sudah berada di luar negeri adalah tokoh unik, orisinal dan karenanya menarik.
Saya pernah melihatnya berhenti di pintu masuk tol untuk berkenalan dengan petugas di situ, bersapa layaknya teman lama, Atau memberi sertifikat khusus kepada pemijat langganannya.
Atau mengadakan pesta “selamatan” karena anaknya berhasil menyelesaikan tahapan dalam “game”. Kalau kini tidak mau tampil di televisi karena “saya ingin masuk surga, bukan masuk tivi.”
Dilan telah menjadi ikon, menjadi penanda dan pertanda zaman ini. Juga beberapa tahun kemudian karena sekuelnya pasti ditunggu. Dan hiburan yang renyah, menyenangkan akan berlanjut. Adalah Dilan yang memberi kado ualng tahun berupa buku tekateki silang (yang lazim zaman itu) dan sudah diisi penuh.
Bukan boneka gede atau kue cokelat yang normal dan formal. Buku teta-teki silang itu sudah diisi semua: agar Milea tak pusing mengisi. Pikiran nakal, genial, berbeda dengan yang biasa, dan karenanya menghibur dan layak diperbincangan.
Dilan layak didengarkan, ketika begitu ruwet masalah dalam dunia perpolitikan, juga terutama karena menghibur dengan keiklasan dan kegenialan. Terima kasih Bung Pidi Baiq, Anda tetap baik.