Proses pemerataan dokter dan tenaga kesehatan terkendala adanya otonomi dari pemerintah daerah.
JAKARTA – Kementerian Kesehatan mengakui pendistribusian dokter dan tenaga kesehatan belum berjalan maksimal. Hal ini mengakibatkan penggemukan dokter dan tenaga kesehatan di beberapa daerah, khususnya diperkotaan.
“Sebenarnya jumlah dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia sangat memadai, bahkan berlebih. Tapi, karena distribusianya tidak merata, mengakibatkan daerah-daerah lain terutama daerah terpencil, kepulauan, dan perbatasan masih sangat kekurangan,” kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BPPSDM) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Usman Sumantri, di Jakarta, Jumat (5/4).
Usman menambahkan selama ini proses pemerataan yang dilakukan pemerintah pusat masih terkendala. Salah satu kendala yang ditemui di lapangan karena adanya otonomi dari pemerintah-pemerintah daerah. “Itu kesulitan kita sejak munculnya otonomi daerah, kita kesulitan memindahkan tenaga dari satu tempat ke tempat lain karena kewenangan daerah,” terang dia.
Pemerintah pusat, kata Usman, bisa saja mengirimkan dokter dan tenaga kesehatan dengan status tenaga pusat. Namun, kondisinya adalah dokter dan tenaga kesehatan yang berlebih di satu daerah mesti dilakukan pendistribusian.
Sejauh ini, menurut Usman, puskesmas dan daerah terpencil terkena dampak dari tidak meratanya dokter dan tenaga kesehatan. Sebanyak 728 puskesmas masih berstatus tanpa dokter dan kekuranga lima tenaga kesehatan, seperti ahli gizi, kesehatan lingkungan, analis kesehatan, tenaga laboratorium, dan ahli farmasi.
“Kadang ada juga puskesmas yang jenis tenaga kesehatannya sudah memadai, tapi total standar jumlahnya belum terpenuhi, terutama di daerah terpencil, kepuluan, dan perbatasan,” tutur Usman.
Usman juga menyebut, pemerintah terus berupaya dalam mendistribusikan dokter ke beberapa daerah melalui program Nusantara Sehat.
“Tahun ini sudah hampir 500 orang yang didata, dari 17 ribu yang daftar, termasuk ada dokter. Mereka itu nanti akan mendapatkan insentif yang lumayan. Empat belas juta untuk daerah sangat terpencil dan 11 juta untuk yag daerah terpencil. Kalau daerah biasa sekitar delapan juta, yang lain juga naik, perawat D3 saja kami berikan enam juta,” jelas Usman.
Dokter Spesialis
Dalam kesempatan itu, Usman juga mengatakan masyarakat di berbagai daerah yang kekurangan layanan kesehatan dokter spesialis terancam tidak akan lagi mendapatkan akses kesehatan tersebut ke depannya. Hal ini seiring dengan Perpres terkait Wajib Kerja Dokter Spesialis oleh Mahkamag Agung (MA).
“Dengan hasil judicial review dicabutnya Perpres terkait Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) oleh MA, kita diberikan waktu sampai 90 hari yaitu 18 April 2019, 90 hari sejak kita terima putusan MA,” kata dia.
Ia mengatakan Kementerian Kesehatan sejak 2017 menjalankan program WKDS yang mewajibkan lulusan dokter spesialis untuk mengabdi selama satu hingga dua tahun dengan ditempatkan daerah-daerah yang kekurangan dokter spesialis. Dokter spesialis yang dikirimkan ke berbagai daerah tersebut spesialis anak, spesialis penyakit dalam, spesialis kebidanan dan kandungan, spesialis bedah, dan spesialis anestesi.
Atas kebijakan program EKDS tersebut, seorang dokter asal Aceh yang masih menjalani studi spesialis di Universitas Syah Kuala Aceh, Ganis Irawan, mendaftarkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis ke Mahkamah Agung pada 7 September 2018. Selanjutnya, pada 18 Desember 2018, MA mengabulkan permohonannya.
Sementara itu, Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK), Maxi Rein Rondonuwu, menjelaskan saat ini Kementerian Kesehatan telah merevisi draf Perpres tersebut dengan mengakomodasi tuntutan yang diminta oleh Ganis dalam gugatannya.
Nantinya, Program WKDS akan diubah menjadi program Pendayagunaan Dokter Spesialis dengan menghilangkan kata-kata wajib seperti yang dipermasalahkan dalam gugatan. ruf/E-3