Di peringatan Hari Perdamaian Internasional kemarin, Presiden Joko Widodo menyampaikan pesan penting: perempuan adalah kunci bagi perdamaian. Ini bukan kali pertama Jokowi bicara soal pentingnya peran perempuan. Pada 2016, Jokowi menjadi salah satu pemimpin dunia yang menjadi duta HeForShe –inisiatif global dari PBB yang mengajak laki-laki secara aktif memperjuangkan kesetaraan gender. Kesetaraan gender pun sudah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.
Demi bisa mencapai potensi maksimal perempuan, tentu butuh kesetaraan di sana. Namun, rapor kita belum terlalu biru. Laporan Kesenjangan Gender Dunia 2016 menempatkan Indonesia di posisi 88 dari total 144 negara. Indonesia ada di bawah Filipina, Singapura, Thailand atau Vietnam. Artinya, PR masih banyak. Masih banyak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang tinggi karena faktor budaya. Masih banyak yang menjadi korban perdagangan manusia karena rendahnya tingkat pendidikan. Masih banyak pekerja perempuan yang tak mendapatkan hak setara dengan pekerja laki-laki. Belum lagi masih adanya ratusan peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan.
Meski begitu, perempuan Indonesia membuktikan kalau keterbatasan itu bisa didobrak. Ada Mama Aleta, yang berdiri di garda terdepan memimpin masyarakat adat menentang penambangan marmer yang merusak lingkungan di NTT. Ada juga Lian Gogali yang mengupayakan perdamaian di Poso, Sulawesi Tengah, lewat pendidikan dan literasi. Konflik komunal Ambon pun mencatat pentingnya peran perempuan dalam menjalin kembali perdamaian di tanah konflik.
Dobrakan kesetaraan bagi perempuan mesti aktif dilakukan oleh Pemerintah. Apa yang disampaikan Presiden Jokowi adalah kunci menuju kerja besar untuk mempersempit jurang perbedaan antara perempuan dan laki-laki di tanah air.