Grandprix Thomryes Marth Kadja, meraih gelar doktor termuda di Indonesia. Saat ini usianya baru 24 tahun. Prestasinya itu juga berhasil memecahkan rekor MURI sebagai pemegang gelar doktor termuda Indonesia saat ini. Granprix merupakan mahasiswa S-3 Kimia ITB. Ia menjadi sarjana doktor muda yang secara resmi diraihnya saat sidang tertutup 6 September lalu. Capaian Grandprix tentu saja mengukir sejarah baru dalam dunia pendidikan Indonesia.
Rencananya, sidang terbukanya akan diselenggarakan di Bandung, Jumat (22/9). Pria kelahiran Kupang ini merupakan lulusan S-1 Kimia, Universitas Indonesia, dan melanjutkan S-2 pada program studi yang sama di ITB. “Saya masuk SD umur 5 tahun, masuk kelas akselerasi sehingga lulus lebih cepat,” ujarnya, Kamis (21/9). Dengan kelas akselerasi tersebut maka ia bisa lebih cepat selesai sekolah, bahkan lulus tingkat SMA pada usia 16 tahun.
Ia lalu melanjutkan kuliah S-1 saat memasuki usia 16 tahun. Tiga tahun kuliah, ia meraih gelar sarjana, atau pada umur 19 tahun. Padahal, program studi yang dipilihnya bukan program studi yang mudah, Teknik Kimia Universitas Indonesia. Tidak berhenti, ia lalu melanjutkan kuliah S-2 di ITB. Prestasi luar biasanya itu membuat Grandprix mendapatkan anugrah beasiswa untuk menempuh Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) Kemenristekdikti.
Pilihannya jatuh ke kampus ITB. Selama studi S-3 di ITB, waktu yang ada digunakan untuk melakukan penelitian secara penuh. “Untuk disertasinya sendiri, saya mengangkat topik tentang Zeolite Sintesis, Mekanisme, dan Peningkatan Hierarki Zeolit ZSM-5,” katanya. Grandprix menjelaskan bahwa secara garis besar, penelitiannya tersebut berfokus pada material yang banyak dipakai di industri seperti petrokimia dan pengolahan biomassa. Sehingga ia berharap hasilnya nanti dapat digunakan dalam industri.
Ia mendapatkan bimbingan dari Dr Rino Mukti, Dr Veinardi Suendo, Prof Ismunandar, dan Dr I Nyoman Marsih sebagai promotornya. Capaian luar biasa Grandprix ini tak lepas dari kerja keras dan keinginan yang kuat dalam meraih mimpi. Ia sendiri saat ini sudah mampu menerbitkan sembilan publikasi ilmiah berskala nasional dan internasional.
“Jalannya masa penelitian-penelitian tidak selalu mulus. Proses yang sulit dan memakan waktu menjadi kendala. Atau jika ada instrumen analisis yang tidak tersedia atau hasil penelitian yang tidak sesuai ekspektasi,” tambahnya. Namun demikian, kecintaannya pada bidang yang ditekuninya itu membuatnya tetap bersemangat untuk menyelesaikan tugas akhir. “Ada kepuasan tersendiri saat hipotesis berhasil dibuktikan.” tgh/E-3