JAKARTA – Sejumlah kalangan menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2020 akan semakin anjlok. Sebab, sumber pertumbuhan bukan disumbangkan sektor produktif, seperti sektor riil dan industri, sehingga ekonomi ke depan bisa negatif karena kinerja semua sektor mengalami penurunan.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekonomi Indonesia triwulan I-2020 dibanding triwulan I-2019 (yoy) tumbuh 2,97 persen. Pertumbuhan didukung oleh semua lapangan usaha dengan pertumbuhan tertinggi dicapai oleh jasa keuangan dan asuransi sebesar 10,67 persen, diikuti jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 10,39 persen, dan informasi dan komunikasi sebesar 9,81 persen.
Sedangkan kontribusi pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2020 tertinggi berasal dari lapangan usaha informasi dan komunikasi sebesar 0,53 persen, diikuti jasa keuangan dan asuransi serta industri pengolahan masing-masing sebesar 0,44 persen, dan konstruksi sebesar 0,29 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia dari lapangan usaha lainnya sebesar 1,27 persen (lihat infografis).
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan pemerintah perlu mendorong sumber pertumbuhan yang lebih produktif, yakni sektor sekunder seperti industri.
“Selama ini yang didorong lebih ke sektor jasa, seperti pendidikan, telekomunikasi, dan keuangan. Itu tidak bisa terukur secara riil, tidak menyerap lapangan kerja, tidak memberi efek ke sektor lainnya. Mestinya yang didorong sektor yang bisa menghasilkan multiplier effect yakni industri. Itu bisa memompa konsumsi rumah tangga dan serapan tenaga kerja,” katanya saat dihubungi, Kamis (7/5).
Sebelumnya, Kepala BPS, Suhariyanto, menyatakan mayoritas sektor ekonomi pada triwulan I-2020 tumbuh melambat secara tahunan. Industri pengolahan tumbuh 2,06 persen, melambat dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 3,85 persen. Perdagangan melambat dari 5,21 persen menjadi 1,6 persen, konstruksi melambat dari 5,91 persen menjadi 2,9 persen, dan sektor pertambangan dari 2,32 persen menjadi 0,43 persen.
Sektor penyediaan akomodasi makanan dan minuman juga turun cukup dalam dari tumbuh 6,41 persen pada kuartal I 2019 menjadi 1,95 persen. Sektor transportasi turun curam dari 7,55 persen pada periode yang sama tahun lalu menjadi 1,27 persen. Berdasarkan subsektornya, angkutan rel turun cukup dalam menjadi minus 6,96 persen dan angkutan udara minus 13,31 persen.
Tauhid menambahkan pemerintah harus memprioritaskan sektor industri melalui pengurangan pajak, “Industri mesti diberi prioritas mendapatkan restrukturisasi kredit, termasuk kemudahan pengurusan dari OJK. Selain itu, perlunya stimulus ekonomi, pemberian bunga rendah, penundaan pajak,” katanya.
Menurut Tauhid, jika tak ada perbaikan maka ekonomi Indonesia ke depan akan negatif. “Berdasarkan hitungan terburuk Indef, triwulan II dan III, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan negatif. Contohnya saja triwulan I-2020, satu bulan kena korona sudah berpengaruh ke pertumbuhan yang jeblok ke angka 2,97 persen. Pelonggaran PSBB diharapkan bisa menggerakkan sektor sekunder dan belanja sektor riil,” paparnya.
Bukan karena Pandemi
Dihubungi terpisah, ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 3 persen merupakan indikator yang sangat buruk. Padahal, pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia terlambat, namun sudah memberikan dampak yang signifikan.
“Tekanan bukan hanya pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi turun tajam, tapi ada faktor sisi permintaan sejak tiga tahun lalu yang lesu. Industri bahkan jauh sebelum Covid-19 sudah digempur barang impor dan kita tidak siap hadapi perang dagang AS dan Tiongkok,” ujar Bhima.
Menurut Bhima, jika melihat ekonomi triwulan I-2020 yang sudah cukup parah maka diperkirakan pada triwulan II- 2020 akan mengalami minus. Ini terjadi karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah dan juga adanya pelarangan mudik yang membuat aktivitas ekonomi nyaris mati total. Kondisinya akan semakin parah dengan adanya gelombang PHK dan pekerja yang dirumahkan tanpa digaji dan tidak dibayar THR-nya. Katastropik (penyakit) ekonomi semakin parah,” ujarnya. ers/uyo/AR-2