Bandar Lampung, BP–DPD RI mendesak pemerintah mengeluarkan aturan turunan berupa PP yang mengatur hutan adat, seperti diamanatkan dalam Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebab, masyarakat hukum adat masih ada dan diakui, berhak memungut hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dan melakukan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Komite II DPD RI Bustami Zainudin saat menjadi narasumber mewakili ketua DPD RI di Diskusi Publik “Membangun Sinergi dalam Upaya Konservasi Sumberdaya Hutan dan Lingkungan” di Kampus Pascasarjana Universitas Bandar Lampung, Lampung, Selasa (21/1).
Menurut Bustami, DPD RI mendorong Pemerintah melindungi masyarakat adat, yang rawan dan dimanfaatkan pihak luar. “Agar mereka tidak terpinggirkan di tanah kelahiran atau leluhur mereka. Apalagi UU Nomor 41 tahun 1999 sudah berusia 20 tahun, belum mengantisipasi perubahaan peruntukan di sekitar dan dalam kawasan hidup masyarakat adat,” kata anggota DPD RI dari Provinsi Lampung itu.
Menurut dia, DPD RI juga mendukung pengadaan polisi khusus hutan dalam jumlah memadai, sehingga alih fungsi hutan untuk kepentingan pertambangan, perkebunan dan kebutuhan lain tetap terkontrol dan sesuai prosedur dan aturan.
Selain SDM kehutanan, DPD RI juga mendesak pemerintah mengalokasikan anggaran memadai dan berimbang antara pusat dan daerah terkait penegakan hukum di sektor kehutanan.
DPD RI mendesak pemerintah, secara ketat mengawasi pemegang izin pemanfaatan hutan, baik melalui IPPKH maupun IUP, demi menerapkan UU Nomor 41/1999, terutama Pasal 48, yang mewajibkan setiap pemegang izin usaha untuk melindungi hutan dari areal kerjanya, dan Pasal 50 yakni memberi amanat kepada pemegang izin yang dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Soal kebakaran hutan, DPD RI mendorong peningkatan koordinasi antara lembaga pemerintahan terkait permasalahan kebakaran hutan dan lahan, terutama Kementerian Pertanian. Hal ini didasari pada sebagian besar sumber kahutla berasal dari kawasan kalapa sawit yang merupakan bagian dari kewenangan Kementerian Pertanian yang dilimpahkan kepada Dirjen Perkebunan.
DPD RI mendorong dibentuknya satgas masyarakat peduli kebakaran hutan dan lahan khususnya di daerah yang memiliki potensi resiko tinggi bencana karhutla. Dalam pembentukan satgas ini perlu diberikan fasilitas terkait basis sumber informasi aktual dalam jaringan (applikasi online), honorium, asuransi keselamatan kerja dan peralatan dan sarana prasarana penanggulangan karhutla.
DPD RI mendorong agar kawasan hutan produksi, baik hutan rakyat maupun milik korporasi melakukan sertifikasi hutan lestari dalam rangka mewujudkan produksi
Seperti diketahui, dalam 10 tahun terakhir tekanan terhadap hutan di Indonesia terjadi sangat signifikan. Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, deforestasi saat ini sudah mulai menyasar wilayah-wilayah yang memiliki hutan alam yang baik. Saat ini, hampir separuh dari 11,2 juta hektare (ha) daratan beberapa provinsi sudah dikuasai korporasi pemegang izin HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Sebuah lembaga riset, Ideas, juga merilis, saat ini luas perkebunan sawit sudah menembus 12,32 juta ha, yang sebagian besar dikuasai 15 perusahaan swasta.
Greenpeace mencatat, kawasan hutan di Indonesia mendapat ancaman perkebunan kelapa sawit. Industri minyak sawit merupakan ancaman tertinggi deforestasi di Indonesia, meski beberapa Negara Barat berupaya melakukan kampanye negatif terhadap minyak sawit produksi Indonesia. Kampanye negatif muncul karena sebagian lahan perkebunan sawit milik perusahaan besar terindikasi memanfaatkan kawasan hutan lindung.#duk
in Nasional