in

DPP PKB Nonaktifkan Edward Tannur

Edward Tannur.(DPR RI)

DPP PKB resmi menonaktifkan Edward Tannur sebagai anggota semua komisi di DPR. Penonaktifan itu merupakan buntut kasus dugaan penganiayaan berujung kematian yang melibatkan anak Edward, Gregorius Ronald.

“Menonaktifkan saudara Edward Tannur dari semua tugasnya di komisi,” kata Sekjen DPP PKB Hasanuddin Wahid.

Penonaktifan tersebut merupakan sanksi dari DPP PKB terhadap Edward. PKB telah mengirim surat pencabutan tugas dari Komisi IV tersebut ke DPR, kemarin. “Dalam konteks ini, namanya sanksi, kami jatuhkan pencabutan dia (Edward) dari anggota komisinya dan PKB ajukan surat pencabutan dari komisinya itu ke DPR,” tutur Hasanuddin.

Cak Udin, sapaan Hasanuddin Wahid, menjelaskan, penonaktifan itu dilakukan supaya Edward bisa fokus menyelesaikan persoalan yang dihadapi anaknya. DPP PKB, lanjut Cak Udin, sangat prihatin dengan kasus yang menghebohkan publik tersebut. “Kami sangat prihatin terjadi hal semacam itu dan hati kami ada di korban (DSA, red),” paparnya.

Cak Udin juga menegaskan, PKB bakal meminta Edward untuk menghadapi kasus yang menimpa Ronald sesuai dengan ketentuan undang-undang. Ia memastikan PKB tidak akan melakukan intervensi pada proses hukum yang berlangsung pada Ronald. “Ini bentuk sanksi kami sembari kami beri kesempatan atas persoalan yang terjadi,” ungkapnya.

Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam keras tindakan kekerasan berujung kematian yang dialami oleh DSA. Deputi Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati menegaskan, pihaknya akan terus mengawal proses hukum hingga pelaku dapat dijatuhkan hukuman maksimal.

“Kami akan terus mengawal proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga korban dan keluarga korban mendapatkan keadilan,” tegasnya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, pihaknya melalui tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 telah berkoordinasi dengan pihak Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Timur mengenai kasus ini.

Dari koordinasi tersebut didapatkan informasi, bahwa jenazah korban telah dipulangkan dan dimakamkan di rumahnya di Desa Babakan Sukabumi, Jawa Barat.

Saat ini pun kasus tersebut pun telah ditangani oleh Polrestabes Surabaya dengan penangkapan pelaku dan autopsi yang dilakukan oleh tim forensik Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soetomo pada Rabu (4/10) silam. Dari hasil autopsi, ditemukan banyak luka pada tubuh korban. Sementara, pelaku telah diamankan.

Ratna menyampaikan apresiasi atas reaksi dan gerak cepat yang dilakukan oleh Polrestabes Surabaya dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan serta memproses lebih lanjut kasus tersebut. Termasuk, tim forensik RSUD dr Soetomo. Sehingga penyebab kematian korban dapat terungkap lebih cepat dan pelaku dapat segera ditangkap dan dijadikan tersangka.

Ratna menegaskan, penegakkan hukum menjadi sangat penting dilakukan demi tercapainya kepastian hukum, perlindungan, dan keadilan bagi korban dan keluarga korban.

“Kami mendorong para APH agar dapat menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku karena telah dengan sengaja melakukan kekerasan hingga menyebabkan kematian pada korban,” tegasnya.

Di sisi lain, Ratna mengajak seluruh perempuan di Indonesia untuk berani bicara dan tidak takut melaporkan segala bentuk kekerasan yang dialami, dilihat, didengar, ataupun diketahui.

Untuk mempermudah pelaporan, korban maupun saksi melaporkan bisa mengakses Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang dapat diakses setiap saat dan kapanpun melalui call center 129 atau WhatsApp 08111-129-129.

Tindakan Femisida

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) angkat bicara terkait kasus kekerasan berujung pembunuhan terhadap DSA oleh pacarnya GRT, di Surabaya. Komnas Perempuan peristiwa merupakan tindakan femisida.

Sebagai informasi, DSA mengalami kekerasan berujung kematian pada Rabu(4/10). Usai dipukul dengan botol pada bagian kepala, DSA juga dilindas dengan mobil oleh sang pacar GRT, yang diketahui merupakan anak politisi PKB.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengaku, belum mendapatkan laporan secara utuh tentang situasi yang dihadapi alm DSA. Namun dari berbagai pemberitaan, ada sejumlah hal penting menurut Andy.

Pertama, terdapat indikasi bahwa penganiayaan oleh GTR telah terjadi berulang kali hingga yang terakhir berujung pada kematian. Pada peristiwa terakhir ini pun menunjukkan proses yang disengaja untuk mengakibatkan penderitaan fisik dan psikis luar biasa kepada korban.

Mulai dari pemukulan sejak dari dalam ruangan, ke ruang parkir, penempatan korban di dalam bagasi, perekaman dengan pengejekan, pelindasan dengan mobil, hingga menunda membawa korban ke rumah sakit.

“Rangkaian kondisi ini menunjukkan bahwa peristiwa ini dapat dikategorikan sebagai femisida,” ujarnya dalam keterangan resmi kemarin (8/10).

Femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.

Karenanya, kasus pembunuhan femisida berbeda dengan pembunuhan biasa lantaran mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. Femisida bukanlah kematian sebagaimana umumnya melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis dan terjadi baik di ranah privat, komunitas, maupun negara.

Karenanya, Komnas Perempuan mendorong pihak kepolisian untuk dengan sungguh-sungguh memastikan proses hukum pada tersangka utama berlangsung dengan akuntabel. Termasuk, kepada pihak-pihak lain yang mengetahui, membiarkan, dan/atau turut dalam penganiayaan tersebut tetapi tidak mengambil langkah yang dibutuhkan.

Contohnya, ketika berada dalam fasilitas lokasi pertama kejadian dan di tempat parkir. “Komnas Perempuan mendukung upaya polisi untuk menyegerakan proses hukum terhadap tersangka utama maupun yang terkait,” tegasnya.

Pihaknya juga mendorong adanya pusat layanan terpadu guna mendukung keluarga korban mendapatkan pemulihan. Menurutnya, dukungan pada keluarga korban menjadi penting untuk melewati masa sulit karena rasa kehilangan dan proses hukum yang tidak singkat.

Pusat layanan terpadu bagi perempuan dan anak yang saat ini tersedia di berbagai provinsi, kota dan kabupaten, dapat menjadi simpul untuk penghadirkan dukungan pemulihan ini.

Selain itu, ia turut mengajak semua pihak untuk ikut serta mencegah peristiwa serupa berulang. Mengingat, kekerasan dalam pacaran adalah jenis kekerasan terhadap perempuan di ruang personal terbanyak ke-2 setelah kekerasan terhadap istri yang dilaporkan ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan dalam 5 tahun terakhir.

Bahkan, di tahun 2022, dilaporkan adanya 3.950 kasus kekerasan dalam pacaran ini. Untuk mencegah kian masifnya kasus kekerasan dalam pacaran ini, Komnas Perempuan mendesak pemerintah untuk membangun kampanye-kampanye yang dapat mendorong warga turut mengambil langkah proaktif untuk mengenali adanya tindak penganiayaan.

Tak kalah penting, pemerintah harus memastikan informasi mengenai kontak darurat yang bisa diakses agar mereka bisa mendapat pendampingan atau melaporkan kasus. “Sehingga akibat-akibat fatal dapat dicegah,” pungkasnya. (tyo/mia/jpg)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Peluncuran IDXCarbon dan Perubahan Perilaku

Kadinkes Sumbar: Program Inovasi Masuk Surga Berikan Pelayanan Maksimal Bagi Masyarakat