in

Peluncuran IDXCarbon dan Perubahan Perilaku

Fajri Adrianto, Dosen Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Unand

SELASA (26/9), menjadi milestone penting dalam green economy di Indonesia seiring diresmikannya operasional Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) oleh Presiden RI Joko Widodo.

Bursa Karbon merupakan bursa yang memperdagangkan sertifikat yang menunjukkan keluaran emisi karbon dioksida (gas rumah kaca) dalam bentuk kredit karbon yang dimiliki perusahaan.

Pembukaan IDXCarbon yang dikelola Bursa Efek Indonesia (BEI) didasarkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon dengan empat mekanisme perdagangan, auction, regular trading, negotiated trading, dan marketplace.

IDXCarbon bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup karena sistem perdagangan di bursa ini terhubung dengan sistem registrasi nasional pengendalian perubahan iklim (SRN-PPI) dengan tujuan mempermudah transfer unit karbon yang dimiliki perusahaan.

Menurut ahli, Bursa Karbon memiliki potensi perdagangan senilai Rp 3.000 triliun, sehingga memberikan potensi kapital yang cukup besar bagi perusahaan. Transaksi hari pertama saja sudah mencatatkan nilai perdagangan sebesar Rp 29,2 miliar.

Ada 15 pembeli yang berasal dari perbankan dan perusahaan sekuritas melakukan transaksi beli kredit karbon yang diperdagangkan oleh anak perusahaan PT Pertamina (Persero), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang memperdagangkan kredit karbon perusahaan di proyek Laendong unit 5 dan 6.

Sebanyak 459.953 ton unit karbon diperdagangkan di hari pertama dengan frekuensi transaksi 27 transaksi dengan harga per unit karbon Rp 69.600 dan Rp 77.000 dari unit karbon yang dimiliki oleh PGEO.

Pembeli unit karbon hari pertama rata-rata berasal dari lembaga keuangan, seperti BNI Sekuritas, Bank BCA, Bank Mandiri, Bank CIMB Niaga, Bank DBS Indonesia dan BRI Danareksa Sekuritas.

Potensi yang besar perdagangan karbon ini tentunya juga akan memberikan peluang dan dampak dalam tata kelola perusahaan di Indonesia ke depannya. Kredit karbon akan berhubungan dengan sistem operasi perusahaan yang berkontribusi besar dalam menghasilkan emisi karbon.

Indonesia sendiri merupakan negara peringkat ke-4 penghasil emisi karbon di dunia, dengan kontribusi 4,1 persen. Dalam beberapa KTT G-20 sudah disepakati beberapa program pengurangan emisi karbon.

Salah satu milestone yang sangat penting adalah adalah target NDC (Nationally Determined Contribution) pada tahun 2030 untuk negara G-20 akan menghasilkan 6,9 ton karbon dioksida ekuivalen (tCO2e), walaupun dianggap cukup berat mencapai target tersebut dengan belum adanya transisi yang agresif dari kebijakan pemulihan lingkungan di negara-negara G-20 yang merupakan penghasil 75% emisi di dunia.

Kehadiran IDXCarbon diharapkan mampu menjadi satu kebijakan agresif yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai komitmen pengurangan emisi, apalagi Indonesia menargetkan pengurangan emisi 40-41% tahun 2030, dan net zero emission di tahun 2060.

Indonesia sendiri memiliki target pengurangan lebih dari 3 gigaton karbon dioksida sampai dengan 2030. Dilihat dari sisi keuangan perusahaan, tentunya kehadiran IDXCarbon menjadi potensi cash flow bagi perusahaan yang sudah medapatkan sertfikat kredit karbon.

Penjualan surplus kredit karbon akan menjadi potensi cash inflow perusahaan. Namun dalam jangka pendek, tentunya perusahaan akan melakukan transisi yang cukup agresif untuk bisa memanfaatkan kredit karbon yang mereka miliki.

Secara umum, bisa dilihat beberapa dampak dan mafaat yang akan didapatkan oleh perusahaan dengan kehadiran dari IDXCarbon dalam jangka panjang maupun jangka pendek.

Pertama, transisi tersebut tentunya akan membutuhkan modal investasi yang tidak sedikit. Transisi energi dari energi karbon ke energi terbarukan (renewable energy) tentunya tidak mudah karena membutuhkan perubahan dalam sistem operasi perusahaan dan investasi baru pada asset tetap perusahaan untuk menyesuaikan target produksi dan penggunaan energi terbarukan.

Surplus kredit karbon akan didapatkan ketika perusahaan bisa mengurangi emisi karbon mereka, dan jika perusahaan tidak melakukan transisi energi, perusahaan bisa berpotensi mengalami defisit kredit karbon ketika perusahaan melihat meningkatkan kapasitas produksi mereka.

Jadi dampak utama bagi perusahaan adalah perubuhan perilaku produksi dalam hal penggunakaan energi fosil atau hitam ke energi terbarukan. Perusahaan tidak akan fokus pada kepatuhan mandatory semata namun juga mulai berupaya memenuhi kepatuhan voluntary guna menghemat kredit karbon yang mereka miliki.

Kedua, kehadiran IDXCarbon diharapkan akan mampu menjadi sumber investasi dan pembiayaan oleh perusahaan. Antusiasme beberapa lembaga keuangan baik bank maupun perusahaan investasi pada transaksi perdagangan karbon di hari pertama memberikan sinyal diversifikasi investasi bagi perusahaan.

Perusahaan bisa menggunakan extra cash flow mereka pada sertifikat emisi karbon yang diperdagangkan di bursa karbon. Kehadiran IDXCarbon tentunya meningkatkan likuiditas dari investasi karbon tersebut. Perusahaan bisa lebih mudah memperdagangkan kredit karbon yang mereka miliki untuk pemenuhan cash flow perusahaan dan tentunya potensi return yang didapatkan dari investasi tersebut.

Ketiga, IDXCarbon akan menjadi tempat bagi perusahaan untuk menunjukkan kinerja Enviromental Social Governance (ESG) perusahaan, sehingga tentunya akan meningkatkan reputasi perusahaan. Perusahaan yang aktif di bursa karbon tentunya akan mendapatkan sentimen yang lebih baik terutama bagi investor Socially Responsible Investment (SRI).

Secara global, nilai asset kelolaan investasi SRI sampai dengan tahun 2020 sudah mencapai 35,3 triliun dollar dengan rata-rata pertumbuhan 24,69% dalam lima tahun terakhir. Tentunya ini potensi kapital yang sangat besar bagi perusahaan yang menerapkan prinsip ESG dengan baik.

Menurut teori, jika sumber modal lebih banyak baik itu dalam bentuk ekuitas maupun hutang, maka likduiditas yang tinggi tersebut akan mendorong turunnya biaya modal (cost of capital), sehingga risiko keuangan perusahaan akan semakin rendah.

Keempat, kehadiran IDXCarbon akan mampu menjadi motivasi bagi industri, karena transisi operasional perusahaan menuju ke sustainable operations tidak saja menjadi penguat reputasi perusahaan, namun juga menjadi peluang tambahan cash flow bagi perusahaan dengan penghematan kredit karbon yang mereka miliki.

Inilah yang dikenal dengan konsep doing good while doing well. Artinya, aktivitas keberlanjutan perusahaan tidak saja sebagai kegiatan sukarela, namun juga menjadi potensi return bagi perusahaan.

Kedepannya, kita berharap jumlah perusahan dengan kinerja ESG akan lebih banyak lagi tercatat dalam beberapa database keuangan global, sehingga bisa jadi acuan masuknya dana SRI ke industri di Indonesia.

Saat ini baru sekitar 83 perusahaan publik di Indonesia tercatat di database Refintiv Eikon, masih lebih rendah dibandingkan Malaysia 348 perusahaan, Singapura dan Thailand masing-masing 91 dan 177 perusahaan.

Tentunya dengan kehadiran IDXCarbon bisa mendorong perusahaan untuk bisa memenuhi kriteria ESG yang dimiliki oleh database keuangan global. Database keuangan global sangat penting bagi industri karena menjadi acuan informasi bagi investor global untuk menempatkan dana mereka dalam perusahaan.

Sedangkan untuk Enviromental Pillar Score sendiri, dari data Refinitiv Eikon, nilai rata-rata skor untuk pilar lingkungan sudah di atas 50 (skala 0-100), tepatnya 51,11. Lebih baik dengan rata-rata perusahaan Malaysia 42,19, namun sedikiti lebih rendah dari perusahaan di Singapura dan Thailand yang masing-masing 53,5 dan 52,5.

Kehadiran IDXCarbon kedepannya diharapkan bisa menjadi motivasi bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerja sustainabilitas perusahaan. Secara teori, perusahaan yang lebih sustainable cenderung memiliki umur operasional lebih lama karena mampu mengurangi benturan dengan lingkungan dan komunitas yang menjadi stakeholder perusahaan.

Kehadiran IDXCarbon menjadi asa bagi perbaikan kondisi lingkungan melalui upaya perusahaan dalam mengurangi emisi karbon. Target pemerintah net zero carbon tahun 2060 dengan target penurunan 40% di tahun 2030 bisa tercapai atau bahkan bisa dicapai lebih awal dari batas waktu yang ditargetkan. (Fajri Adrianto, Dosen Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Unand)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Firli: Koruptor Sedang Bersatu Serang KPK

DPP PKB Nonaktifkan Edward Tannur