Rapat Paripurna DPR RI mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2018 (RAPBN 2018) menjadi Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2018 (UU APBN 2018).
Pengesahan RUU tentang APBN tersebut ditandai dengan penyerahan Laporan RUU APBN 2018 dari Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Aziz Syamsuddin kepada Wakil Ketua DPR RI, Taufik Kurniawan, dalam Rapat Paripurna DPR RI, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (25/10).
Dari 10 fraksi yang ada di DPR RI, hanya sembilan fraksi yang menyatakan setuju RUU tentang APBN menjadi UU tentang APBN 2018. Satu fraksi yang tidak setuju kata Taufik adalah Fraksi Partai Gerindra.
”Dari 10 fraksi, delapan fraksi setuju, satu fraksi yakni Gerindra menolak, satu fraksi menerima dengan catatan yakni PKS. Maka saya tanyakan, apakah pembahasan RUU APBN dapat disetujui untuk disahkan?” tanya Taufik. ”Setuju…,” jawab seluruh Anggota DPR RI yang hadir para Rapat Paripurna DPR RI.
Dalam Rapat Paripurna, Ketua Banggar DPR RI Azis Syamsuddin melaporkan hasil pembahasan tingkat I di Banggar DPR RI, diantaranya terkait asumsi dasar yakni pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 3,5 persen, nilai tukar rupiah Rp13.400 per USD, Surat Piutang Negara 3 bulan 5,2 persen, ICP USD48 per barel, lifting minyak 800 ribu bph dan lifting gas bumi 1.200 bph.
Sedangkan target pembangunan yakni diantaranya tingkat pengangguran 5-5,3 persen, tingkat kemiskinan 9,5 persen-10 persen, gini ratio 0,38, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 71,5.
Terkait defisit anggaran, Banggar DPR RI menetapkan Rp 325 miliar atau 2,19 persen dari PDB. Meski demikian Azis meyakini pemerintah akan tetap menjaga defisit dalam batas aman untuk menjaga kesinambungan fiskal dan mengendalikan kerentanan fiskal.
Usai RUU APBN disahkan menjadi UU, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan terima kasih atas kerja sama yang baik antara Pemerintah dengan DPR selama pembahasannya berlangsung. Ia menekankan pada aspek pengelolaan utang akan ditujukan guna menjaga ratio utang di bawah 30 persen dari PDB.
”Defisit diarahkan untuk kegiatan produktif sehingga kemampuan pembayaran kembali dapat dijaga pada masa yang akan datang,” ujar Sri Mulyani. (*)
LOGIN untuk mengomentari.