in

Dunia Wayang: “Perang Kembang” Itu Mendewasakan

Kembang, atau bunga, kini sedang berbunga-bunga. Juga dalam arti sebenarnya. Dalam dua minggu terakhir ini bertebaran bunga papan sebagai ucapan syukur, sebagai ucapan terima kasih.

Awalnya ditujukan ke pasangan Ahok-Jarot yang tersisih dalam pemilihan gubernur.

Tadinya hanya satu dua, lalu konon mencapai jutaan. Tadinya dijejer sebagai pajangan dan menjadi lokasi swafoto, lalu dibakar dan dipakai buat berteduh ketika hujan turun.

Awalnya di Jakarta, sekitar Balai Kota, lalu menyebar ke kota lain, juga instansi lain. Termasuk markas kepolisian, juga satu dua ke gedung DPR .

Bunga atau kembang adalah idiom yang mudah dikenali, dan telah berada dalam berbagai istilah varian.

Janda kembang salah satunya, kata itu menandai janda yang muda (baru kembang belum buah), segar (masih muda), dan biasanya juga lumayan kaya (mungkin karena warisan dari suami).

Kembang desa juga menggambarkan gadis yang menjadi primadona di suatu lokasi. Bunga uang, atau riba juga sangat dikenali, walau juga diemohi.

Bunga angin bisa berarti sepoi-sepoi,sedangkan bunga api bisa diartikan pecikan api atau mercon.

Maka ketika sebaran “katakan dengan bunga” menggema, bukan hal aneh, bukan hal baru. Apalagi dalam bentuk papan, ucapan bisa menjadi lucu, haru, sehingga punya kekuatan untuk dibaca dan disebarkan.

Misalnya pengirimnya adalah : yang ditinggal ketika sedang sayang-sayangnya. Kalimat ini biasa muncul dalam percakapan anak muda.

Yang bisa iya, bisa pula becanda. Dengan banyak tafsiran lucu, dan mudah ditiru, mudah menjadi viral. Dan karena viral dengan banyak—atau sekurangnya dua tafsiran yang bertentangan—ada kesengajaan membakar.

Apakah berarti gaduh lagi, suasana kembali riuh. Bagi masyarakat Jawa terutama yang menggemari wayang, baik wayang kulit maupun wayang orang, mereka lebih tenang.

Sekurangnya masa sekarang ini sudah melewati masa Goro-goro, suasana serba gaduh, galau, gerah berkepanjangan. Sekarang ini masuk periode “Perang Kembang”, suatu babak dalam pentas wayang di mana yang super gaduh bertarung dengan pendiam.

Yang dilambangkan—ini memang dunia lambang, dunia penuh simbol—adegan Cakil, tokoh raksasa yang gemuruh dan akhirnya mati oleh keris dan tingkahnya sendiri.

Babakan ini diyakini belum dalam arti “perang yang benar-benar perang”, masih dalam periode “hiasan”. Atau bahkan disimbolkan, lagi-lagi, sebagai perang melawan hawa nafsu sendiri.

Hawa nafsu yang riuh, yang menginginkan di atas kemampuan dan haknya. Dan siapa yang mampu menguasai nafsu dan batas kemampuan serta hak-haknya, dialah yang memenangkan periode “Perang Kembang” ini.

Dan yang sesungguhnya kalau mengikuti pembabakan sebagaimana siklus dalam pementasan wayang, periode setelah “Perang Kembang” adalah periode yang tenang. Periode terjadinya proses pendewasaan diri.

Artinya setelah ini, konflik melandai, dan suasana tenang, suasana penuh kedewasaan. Dalam wayang, siklus begini telah diterima sejak ratusan tahun lalu, dan perubahan-perubahan yang terjadi bisa difahami.

Periode tenang setelah Goro-goro, setelah “Perang Kembang” adalah periode menjadi dewasa. Sampai, mungkin nanti benturan yang bisa terjadi saat Pemilu atau Pilpers, atau hal-hal memungkinan gesekan secara massif dan berkesinambungan.

Artinya sat ini masa tenang, masa mendewasa. Tapi bukan berarti pasti begitu. Karena kini, seperti musim dan cuaca, bisa anomali, bisa tak mengikuti aturan yang berlaku, bisa memakai dinamikanya sendiri.

Dan justru karena itu tetap waspada, hati-hati, dan membiarkan diri menjadi lebih dewasa bersama lingkungan besar. Dan melalui masa demi masa yang memang harus dilewati.

What do you think?

Written by virgo

6 Hal Ini yang Bisa Bikin Kamu Kangen Mantan Lagi

Cuaca Ekstrem Masih Berlanjut