Palembang (ANTARA) – Salah seorang anak nelayan Sofian (17), asal Desa Juru Taro, Muara Sugihan, Banyuasin, Sumatera Selatan, berharap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bisa meningkatkan kesejahteraan nelayan karena pekerjaan yang syarat risiko ini demikian dekat dengan kemiskinan.
Siswa kelas XII ini mengatakan kesejahteraan nelayan saat ini semakin terpuruk karena tingginya biaya untuk modal kerja dan menipisnya sumber daya di sekitar tempat tinggal.
“Ayah harus melaut ke tempat yang jauh hingga ke Pulau Natuna, karena ikan di dekat Sungsang sudah jauh berkurang jika dibandingkan 10 tahun lalu. Biaya jadi sangat besar, dan sarat risiko,” kata dia.
Menurutnya, penurunan tangkapan ikan di sekitar kampung nelayan pesisir jalur 14 Kecamatan Muara Sugihan ini tak lain karena jumlah penduduk terus bertambah.
Walhasil, jika ayahnya tidak melaut hingga ke Kepulauan Riau, seperti ke Natuna dan Pulau Sayak maka tidak akan “balik modal”.
Karena besarnya modal itu, ayah Sofian memilih berlayar secara berkelompok. Selain demi keselamatan, mengingat dalam sekali berlayar membutuhkan waktu 3 hari, berkelompok juga bertujuan agar mereka bisa urunan modal.
Selain itu, untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sang ayah terpaksa menjadi petani dan penjual daun nipah (bahan untuk atap).
“Beginilah hidup kami, seada-adanya saja. Itulah saya senang ketika pemerintah melarang pakai alat tangkap trawl dan cantrang karena alat tangkap inilah yang membuat tangkapan ikan makin lama makin berkurang,” kata remaja kelahiran Banyuasin, 18 Juli 1998 ini.
Sementara itu Naroli, warga perkampungan nelayan Sungsang, Banyuasin mengatakan, kesulitan meningkatkan pendapatan itu, bukan semata-mata karena jumlah tangkapan ikan yang berkurang, melainkan ketergantungan nelayan pada tauke.
Kelemahan mengakses lembaga keuangan formal untuk modal kerja membuat nelayan terikat puluhan tahun dengan tauke sehingga mau tidak mau menjual harga ikan dengan harga di bawah pasar.
“Jika saja saya tidak terikat dengan tauke, mungkin saya bisa jual ikan dengan harga yang lebih tinggi. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, jika butuh uang selalu menemui tauke yang bisa meminjamkan,” ujar dia.
Ia mengeluhkan persyaratan dari perbankan yang mengharuskan adanya sertifikat bukti kepemilikan rumah untuk mendapatkan modal kerja. Pada umumnya nelayan hanya memiliki sebuah bangunan rumah semi permanen di bantaran sungai yang sudah tentu tidak ada sertifikat kepemilikannya.
“Bisa tidak diganti dengan yang lain, semisal BPKB motor,” kata Naroli.
Senada, Ruslan Aziz (64), Desa Juru Taro, Muara Sugihan mengatakan kondisi ini juga yang membuat nelayan sulit untuk keluar dari kemiskinan.
Ia menceritakan, dirinya yang menjadi nelayan sejak 40 tahun silam ini dipastikan membutuhkan modal kerja untuk melaut hingga ke Pulau Natuna, Kepulauan Riau.
Ayah empat orang anak ini mengatakan sejauh ini jumlah pendapatan yang diperoleh selalu tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga karena jumlah tangkapan selalu menurun sejak 10 tahun terakhir. Namun, ia tetap bertahan karena tidak memiliki kepandaian lain selain menjadi nelayan.
“Bahkan saat tidak enak badan, saya pun harus melaut karena jika tidak melaut, maka keluarga tidak makan. Pernah saya hanya bawa pulang uang Rp150 ribu setelah tiga hari melaut,” kata dia.