>> Dunia usaha masih skeptis kedua negara akan mencapai kesepakatan dagang lebih luas.
>> Trump memperingatkan mungkin ada lebih banyak lagi dampak yang akan datang.
BEIJING – Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada kuartal kedua tahun ini melambat jadi 6,2 persen. Ini adalah titik terendah dalam hampir tiga dekade dan mencerminkan adanya tekanan akibat perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) serta melemahnya permintaan global.
Dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang menurun ke 6,2 persen dari pertumbuhan secara tahunan (year-on-year) sebesar 6,4 persen pada tiga bulan pertama tahun ini, perekonomian Tiongkok dinilai telah kehilangan momentumnya pada kuartal kedua.
Angka pertumbuhan kuartal II-2019 yang dirilis oleh Biro Statistik Nasional Tiongkok (NBS), Senin (15/7) itu, merupakan pertumbuhan ekonomi tercatat yang paling lambat setidaknya sejak 1992. Ini mencerminkan meningkatnya tekanan terhadap kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia itu, yang disebabkan berlarut-larutnya perang dagang antara Tiongkok-AS dan menurunnya permintaan barang-barang asal Tiongkok dari seluruh dunia.
“Kondisi ekonomi, baik di dalam maupun luar negeri masih parah. Pertumbuhan ekonomi global melambat, ketidakstabilan dan ketidakpastian eksternal juga meningkat,” ujar juru bicara NBS, Mao Shengyong.
Namun, pertumbuhan 6,2 persen itu masih berada dalam kisaran target Beijing antara 6,0 hingga 6,5 persen untuk 2019. Pada 2018, pertumbuhan ekonomi Tiongkok tercatat 6,6 persen.
Sementara itu, Oxford Economics telah menurunkan proyeksi pertumbuhan PDB Negeri Tirai Bambu itu menjadi 6,2 persen pada 2019, dan sebesar 5,9 persen pada 2020, dari prediksi sebelumnya masing-masing sebesar 6,3 persen dan 6,0 persen. Revisi turun tersebut terutama disebabkan belum suksesnya perundingan dagang AS-Tiongkok, yang menyebabkan kenaikan tarif impor lebih lanjut di antara kedua negara.
Pengamat dari The Economist Intelligence Unit, Tom Rafferty, menjelaskan perang dagang Tiongkok dengan AS yang telah berlangsung hampir satu tahun telah membebani perekonomian negara itu. “Ketidakpastian yang disebabkan oleh perang dagang AS-Tiongkok adalah faktor penting, dan kami kira ini akan tetap bertahan, meskipun ada gencatan senjata tarif baru-baru ini,” kata dia.
Menurut Rafferty, dunia usaha masih skeptis kedua negara akan mencapai kesepakatan dagang yang lebih luas, dan melihat ketegangan perdagangan akan lebih meningkat.
Sedangkan Kepala Investasi dari perusahaan investasi Eastspring, Colin Graham, mengemukakan pihaknya akan memantau lebih ketat pasar tenaga kerja Tiongkok agar dapat mengetahui kondisi ekonomi negara itu secara lebih pasti.
“Apakah pabrik menghentikan pekerja saat order mereka jatuh? Karena itu mengarah pada target keseluruhan untuk mengatakan kami ingin menumbuhkan lapangan kerja dan struktur sosial Tiongkok bergantung pada hal itu,” jelas dia.
Tanggapan Trump
Dari Washington DC, AS, dilaporkan Presiden AS, Donald Trump, menyatakan perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok di tengah perundingan dagang yang dimulai kembali, merupakan efek utama dari penerapan tarif AS. Dia juga memperingatkan bahwa kemungkinan ada lebih banyak lagi dampak yang akan datang.
“Inilah alasan mengapa Tiongkok ingin membuat kesepakatan dengan AS, dan berharap itu tidak melanggar kesepakatan awal,” tulis Trump di media sosial, Senin.
Sementara itu, langkah pemerintah Tiongkok guna mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti pemotongan pajak besar-besaran senilai hampir dua triliun yuan atau 258 miliar euro, sejauh ini gagal mengimbangi perlambatan.
Pada Senin, bank sentral Tiongkok juga merampungkan pemotongan rasio cadangan bank untuk bank-bank berukuran kecil hingga menengah. Namun, kemunduran tetap terjadi meski pada Juni sempat terdapat beberapa titik terang dalam perekonomian, seperti kenaikan output industri sebesar 6,3 persen dari tahun sebelumnya, dan penjualan ritel melonjak 9,8 persen, tercepat sejak Maret 2018.
Konflik perdagangan antara Tiongkok dan AS telah memicu kekhawatiran akan terjadinya resesi global. Dua raksasa ekonomi dunia ini telah memberlakukan hambatan tarif perdagangan dengan nilai mencapai 360 miliar dollar AS terhadap barang-barang yang berasal dari dua negara itu. CNBC/AFP/SB/WP