in

Ekonomi Tiongkok Merosot ke Titik Terendah dalam 27 Tahun

>> Dunia usaha masih skeptis kedua negara akan mencapai kesepakatan dagang lebih luas.

>> Trump memperingatkan mungkin ada lebih banyak lagi dampak yang akan datang.

BEIJING – Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada kuartal kedua tahun ini melambat jadi 6,2 persen. Ini adalah ti­tik terendah dalam hampir tiga dekade dan mencerminkan adanya tekanan akibat perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) serta melemahnya permin­taan global.

Dengan pertumbuhan Produk Do­mestik Bruto (PDB) yang menurun ke 6,2 persen dari pertumbuhan secara tahun­an (year-on-year) sebesar 6,4 persen pada tiga bulan pertama tahun ini, perekono­mian Tiongkok dinilai telah kehilangan momentumnya pada kuartal kedua.

Angka pertumbuhan kuartal II-2019 yang dirilis oleh Biro Statistik Nasional Tiongkok (NBS), Senin (15/7) itu, me­rupakan pertumbuhan ekonomi tercatat yang paling lambat setidaknya sejak 1992. Ini mencerminkan meningkat­nya tekanan terhadap kekuatan eko­nomi terbesar kedua di dunia itu, yang disebabkan berlarut-larutnya perang dagang antara Tiongkok-AS dan menu­runnya permintaan barang-barang asal Tiongkok dari seluruh dunia.

“Kondisi ekonomi, baik di dalam maupun luar negeri masih parah. Per­tumbuhan ekonomi global melambat, ketidakstabilan dan ketidakpastian eks­ternal juga meningkat,” ujar juru bicara NBS, Mao Shengyong.

Namun, pertumbuhan 6,2 persen itu masih berada dalam kisaran target Bei­jing antara 6,0 hingga 6,5 persen untuk 2019. Pada 2018, pertumbuhan ekonomi Tiongkok tercatat 6,6 persen.

Sementara itu, Oxford Economics te­lah menurunkan proyeksi pertumbuhan PDB Negeri Tirai Bambu itu menjadi 6,2 persen pada 2019, dan sebesar 5,9 per­sen pada 2020, dari prediksi sebelum­nya masing-masing sebesar 6,3 persen dan 6,0 persen. Revisi turun tersebut terutama disebabkan belum suksesnya perundingan dagang AS-Tiongkok, yang menyebabkan kenaikan tarif impor le­bih lanjut di antara kedua negara.

Pengamat dari The Economist Intel­ligence Unit, Tom Rafferty, menjelaskan perang dagang Tiongkok dengan AS yang telah berlangsung hampir satu tahun te­lah membebani perekonomian negara itu. “Ketidakpastian yang disebabkan oleh perang dagang AS-Tiongkok ada­lah faktor penting, dan kami kira ini akan tetap bertahan, meskipun ada gencatan senjata tarif baru-baru ini,” kata dia.

Menurut Rafferty, dunia usaha masih skeptis kedua negara akan mencapai ke­sepakatan dagang yang lebih luas, dan melihat ketegangan perdagangan akan lebih meningkat.

Sedangkan Kepala Investasi dari per­usahaan investasi Eastspring, Colin Gra­ham, mengemukakan pihaknya akan memantau lebih ketat pasar tenaga kerja Tiongkok agar dapat mengetahui kondi­si ekonomi negara itu secara lebih pasti.

“Apakah pabrik menghentikan pe­kerja saat order mereka jatuh? Karena itu mengarah pada target keseluruhan untuk mengatakan kami ingin menumbuhkan lapangan kerja dan struktur sosial Tiong­kok bergantung pada hal itu,” jelas dia.

Tanggapan Trump

Dari Washington DC, AS, dilaporkan Presiden AS, Donald Trump, menya­takan perlambatan pertumbuhan eko­nomi Tiongkok di tengah perundingan dagang yang dimulai kembali, merupa­kan efek utama dari penerapan tarif AS. Dia juga memperingatkan bahwa ke­mungkinan ada lebih banyak lagi dam­pak yang akan datang.

“Inilah alasan mengapa Tiongkok ingin membuat kesepakatan dengan AS, dan berharap itu tidak melanggar kese­pakatan awal,” tulis Trump di media so­sial, Senin.

Sementara itu, langkah pemerintah Tiongkok guna mendorong pertumbuh­an ekonomi, seperti pemotongan pajak besar-besaran senilai hampir dua triliun yuan atau 258 miliar euro, sejauh ini ga­gal mengimbangi perlambatan.

Pada Senin, bank sentral Tiongkok juga merampungkan pemotongan rasio ca­dangan bank untuk bank-bank berukuran kecil hingga menengah. Namun, kemun­duran tetap terjadi meski pada Juni sem­pat terdapat beberapa titik terang dalam perekonomian, seperti kenaikan output industri sebesar 6,3 persen dari tahun se­belumnya, dan penjualan ritel melonjak 9,8 persen, tercepat sejak Maret 2018.

Konflik perdagangan antara Tiong­kok dan AS telah memicu kekhawatiran akan terjadinya resesi global. Dua rak­sasa ekonomi dunia ini telah member­lakukan hambatan tarif perdagangan dengan nilai mencapai 360 miliar dollar AS terhadap barang-barang yang ber­asal dari dua negara itu. CNBC/AFP/SB/WP

What do you think?

Written by Julliana Elora

Arab Saudi dan Pakistan Bela Cina di Dewan HAM PBB

Kyai Said Deklarasikan Gerakan Nasional Ayo Mengaji Kitab