Kasus bullying /perundungan terhadap bocah 11 tahun di Tasikmalaya yang dipaksa menyetubuhi kucing terus disorot. Ini adalah sesuatu yang sangat membuat miris yang sekaligus membuka mata hati kita.
Sebagai orangtua dan guru kita merasa telah gagal mendidik anak anak kita. Tanda tanya besar bercokol di pikiran kita masing masing, kenapa hal ini bisa terjadi. Ada apa dengan anak anak kita. Kenapa bisa separah ini kelakuan mereka?
Ada yang harus kita evaluasi dalam diri kita. Baik secara individual maupun secara global. Sebagai orangtua apakah kita sudah melaksanakan tugas dan kewajiban kita dengan baik dan sesuai syariat.
Ada beberapa poin penting yang harus kita evaluasi agar kasus kasus yang membuat kita merasa prihatin seperti kasus di atas tidak terulang lagi. Pertama, pola asuh orangtua. Orangtua yang tidak peduli dengan sikap anak akan menghasilkan anak yang cuek dan tidak peka.
Karena orangtua merupakan contoh pertama yang akan mereka tiru. Kita yang akan membentuk karakter anak. Rumah adalah madrasah pertama bagi anak. Orangtua adalah guru idola pertama dalam tumbuh kembangnya.
Bagaimana sikap dan kepribadian orangtua adalah penentu karakter anak selanjutnya. Pola asuh yang salah akan menghasilkan anak yang bermasalah. Jika kita suka ngomong kasar, jorok, bawa-bawa alat kelamin, nama hewan, dll, maka itu jelas keliru besar.
Itu tidak biasa dan sangat melenceng dari norma yang berlaku. Jika anak-anak kita suka saling ledek menghina fisik, menghina orangtua, mencaci maki, berteriak semaunya ke orang lain, itu juga jelas keliru besar. Itu tidak biasa. Itu jahat dan menyakitkan.
Apalagi jika anak-anak kita suka memukul, mengintimidasi, memaksa minta duit, merasa berkuasa, menyiksa anak lain yang lebih kecil, lebih lemah, itu juga sangat keliru. Bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain, mereka tetap merasa tidak bersalah.
Itu dianggap sebuah tindakan kriminal. Karena pola pikir mereka belum berkembang, mereka kesulitan memahami definisi benar-salah. Jadi orangtua perlu memberikan contoh yang baik pada tumbuh kembang anak.
Kedua, dalam hal ini sistem pendidikan kita juga harus dikaji ulang. Teknologi canggih yang saat ini digadang-gadang sebagai tolok ukur kemajuan suatu bangsa harus kita iringi dengan bekal spritual yang cukup. Ilmu agama yang pondasinya dari rumah harus kita perkuat lagi dengan link and match dengan sistem pendidikan kita.
Alangkah mengerikannya apabila pelajaran agama diabaikan atau dihapuskan dari kurikulum kita. Komunikasi dua arah antara guru dan orangtua perlu ditingkatkan dalam meningkatkan kemajuan pendidikan generasi kita. Masyarakat juga harus ikut terlibat dalam pengawasan dan pembentukan karakter anak.
Ketiga, penggunaan media sosial saat ini sangat berpengaruh pada keadaan masyarakat pada umumnya dan karakter siswa pada khususnya. Kalau kita lihat saat ini fenomena luar biasa telah terjadi pada orangtua. Anak-anak bermasalah bisa dipastikan orangtuanya selalu sibuk dengan ponselnya.
Apakah mereka pernah memarahi, memberi sanksi, bahkan disumpal pakai cabe mulutnya biar tidak ngomong jorok? Yang ada, orang dewasa di rumah itu sama kacaunya. Sibuk main HP, sibuk dengan urusan masing-masing.
Saat HP mulai dipegang oleh siswa SD, dan mereka bisa membuka apa saja di sana. Para orangtua tidak mengawasi mereka bahkan lebih sibuk dengan ponselnya. Saat itulah kebiasaan kebiasaan buruk orang dewasa akan ditiru habis-habisan oleh mereka.
Siapa yang salah? Orang dewasa di sekitarnya. Kita yang dewasa yang bisa tahu. Bahwa ngomong jorok, mencaci, memaki, memukul, malak, dll itu kejahatan. Kita yang dewasa yang seharusnya bisa ngajarin ini ke anak-anaknya.
Dan ketika tabiat anak-anak ini semakin memburuk, korban perundungan sudah berjatuhan bahkan ada yang sampai mati, para pejabat asal mangap saat komentar. Seharusnya mereka mengevaluasi semua kebijakan sesuai dengan tupoksi masingmasing.
Dalam hal ini pemerintah berusaha memperbaiki sistim dan birokrasi dengan mengkaji ulang kebijakan dan aturan yang berlaku. Dan para pelaku perundungan seakan-akan dicap tidak bersalah. Mereka merasa itu suatu kehebatan.
Dengan komentar para pejabat berwenang seakan-akan korban yang meninggal itu yang salah. “Kita tidak bisa meminta keterangan korban”. Hei, bapak atau ibuk, gimana mau memberi keterangan kalau sudah jadi mayat. Komentar asal mangap kayak kentut aja. Aneh rasanya menyimak komentar para pejabat yang tanpa logika ini.
Jadi siapa yang salah? Kita semua seharusnya merasa sangat bersalah. Orang dewasalah yang punya tanggung jawab pada generasi berikutnya. Kita akan merusak generasi berikutnya dengan ketidakpedulian kita. Banyak dari kita yang membuat konten, tontonan, contoh yang buruk sekali pada anak-anak kita.
Moga dengan mengevaluasi diri, kebijakan dan sistim, insya Allah generasi kita bisa diselamatkan. Kita sebagai orangtua memberi contoh teladan yang baik sesuai syariat agama Islam. Perdalam ilmu agama dan bekali anak-anak sejak dini dari rumah.
Pemerintah juga harus mengevaluasi semua kebijakan agar pro rakyat dan pro keberlangsungan hidup generasi muda, agar lebih beradab dan berkarakter Pancasila. Buka lapangan kerja sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya, kurangi mengunakan tenaga asing, didik rakyat dan bekali rakyat dengan pendidikan dan pelatihan yang memang layak mereka dapatkan.
“Beri mereka pancing, jangan beri ikan yang sekali santap tidak mencukupi makan sekeluarga”. Berikan hak rakyat sesuai Undang Undang Dasar 1945. Semua rakyat berhak hidup sejahtera di negara kita yang kaya raya ini yang sangat kita cintai.(***)